ASTROTERONE

Perlahan-lahan, langit kota Makassar dikungkungi awan serupa asap berwarna putih-kelabu. Teriknya matahari berganti mendung. Lembab cuaca disertai angin semilir sore menjadikan kota layaknya bayang-bayang kecemasan dalam diri manusia; meningkatkan kinerja kelenjar keringat di dalam tubuh, dan membasahinya dengan berbagai macam pikiran serta peluh.

Setiap penduduk dan pendatang di kota “Angin Mamiri” dengan cepat menyadari akan kedatangan sang hujan. Mereka pun terburu-buru menuju peraduan : Ada yang menancapkan gas kendaraan, ada yang melangkah cepat-cepat di atas padesterian dan perempatan jalan, serta, ada juga yang termenung pasif di kaca belakang pete-pete langganan.

Namun, tidak dengan pengendara motor trail itu. 

Motornya meraung-raung di antara kacaunya barisan kendaraan di jalan Pettarani. Semilir angin membelai lembut beberapa helai rambutnya yang menyelip keluar dari helm army. Tingkahnya pongah seperti karakter Ali Topan. Atau, sebut saja dia seperti itu: Ali Topan, si kumbang metropolitan. Karena rasa tanpa malunya itu, ia mengusik kebisuan pengendara jalanan utama kota Makassar dengan berlagu kencang; meski beberapa pengguna jalan memandang risih gayanya yang angkuh; meski rintik hujan mulai datang satu per satu. 

Sesampainya di rumah, kumandang azan maghrib telah selesai diperdengarkan. Hujan mulai deras memenuhi setiap sudut jalan perumahan. Tubuhnya letih dan memohon untuk dibersihka, juga dimanjakan. Si penampakan Ali Topan dari Makassar pun membasuhkan diri di kamar mandinya yang sederhana nan remang.

Kulit tubuhnya yang sebagian terbakar oleh matahari itu masih lembab oleh air bak saat keluar dari kamar mandi. Air itu terlalu dingin, pikirnya. Tidak seharusnya air membuat tubuhnya yang memiliki otot-otot liat itu menjadi dingin-kaku, atau dikarenakan satu hal apapun juga. Maka, dibiarkan tubuhnya mengering bersama lembabnya udara malam yang diperbantukan oleh putaran kipas angin.  Secara naluri, pemuda itu menganggap telah melakukan hal yang benar bagi tubuhnya untuk tetap panas, bugar dan bersemangat. Masa muda bukan untuk dipikir terlalu serius, pikirannya berlanjut. 

Berikutnya, ia menghubungi teman-teman se-gang-an.

Setelahnya, ia menggarap makan malam yang telah disediakan.

Selepasnya, ia menyambut sekawanan pemuda di kawasan perumahan ke dalam kamarnya hingga lewat tengah malam.

Tiga bungkus rokok kretek. Lima liter botol minuman soda,  dan satu cerek air putih. Dua bungkus kacang buatan dalam negeri. Semuanya tampak bertebaran di sekitar dan sudut kamar. Aroma asap rokok masih tersisa di pori-pori tembok dan teralis ruangan tidurnya. Apa ia sudah tampak gaul? Apa batinnya sudah terpuaskan? Atau, apakah kerinduannya terhadap 'sang mantan' telah teralihkan? Tidak tau. Sang Ali Topan ala Makassar itu hanya tahu tubuhnya kali ini benar-benar perlu perhatian. Matanya yang buas seakan diurapi oleh asap sesajen penyembahan berhala. Pandangannya dibayang-bayangi oleh pekatnya rasa kantuk. Satu hal yang tidak diketahui  oleh pemuda itu: tidur adalah sebagian nikmat Tuhan yang tak terbantahkan.

Pukul 5 pagi, hujan masih bersisa rerintikan di atap rumah dan di atas kerikil-kerikil jalan. Percikannya menguap bersama hawa dingin subuh hari. Hawa subuh itu membenamkan raga sang Ali Topan lebih dalam ke kasurnya yang empuk, namun jiwanya diangkat ke langit yang dikuasai awan gelap bertumpuk-tumpuk.

Dalam pemahamannya, si jelmaan Ali Topan percaya bahwa Makassar adalah kota penghubung antara Indonesia bagian barat dengan bagian timurnya. Seperti jembatan. Ya, jembatan penghubung antara dua belahan dunia. Begitu juga yang ia pahami saat keluar dari kepekatan awan dan menyaksikan kilauan cahaya matahari dari ufuk bumi di bagian timurnya. Cahaya itu menghubungkan dirinya dari bumi ke semesta alam bagaikan sebuah jembatan pula. 

Melalui celah-celah sekumpulan sinar berbentuk pelangi ia berjalan. Punggungnya seakan ditumbuhi sayap kupu-kupu untuk dibantunya terbang. Kadang ia menukik tajam, kadang pula ia bergerak perlahan. Hanya dalam satu hentakan panjang pada sayap kupu-kupunya, sang Ali Topan telah melewati bulan. Satu hentakan lagi ia datangi bebatuan asteroid yang besar dan curam. Hingga di satu kesempatan kritis, ia berada pada garis edar meteor berekor jingga, lalu menubruknya, dan jiwanya pecah berkeping-keping di alam semesta.

Pada saat itu terjadi, di bumi, jam dinding menunjukkan pukul empat belas lewat empat puluh empat menit waktu Indonesia Tengah.

Bumi yang fana dapat melihat kejadian di langit meski penduduknya dibutakan oleh cahaya terang matahari. Penduduknya yang malang. Jika saja mereka dapat melihat keindahan fenomena jiwa yang tengah dimabuk mimpi di atas langit, mereka pasti akan menemukan makna tidur yang sebenarnya. Kenyataannya, di atas peraduan, sang pemuda mirip Ali Topan itu melenguh di dalam tidurnya dan tidak sadar bahwa sebentar lagi serpihan jiwanya akan dilumat oleh putaran galaksi. 

Dalam hitungan tak terhingga, jiwanya yang kini menjadi bagian debu medium antarbintang terhirup ke dalam aliran spiral galaksi. Seperti kinerja vacuum cleaner: Debu-debu yang lebih kecil lebih dahulu masuk ke dalam kantong. Begitu juga pecahan kecil dari jiwa rapuh itu. Serpihannya berputar bagaikan gasing dengan kecepatan ribuan tahun cahaya lebih dulu dari bintang-bintang yang besar, lalu tertelan ke dalam inti Milky Way.

Anehnya, setelah selesai ia tertelan ke dalam inti galaksi, jiwanya menjadi lebih solid dalam warna hitam pekat. Jiwa itu tidak lagi memiliki sayap kupu-kupu karena menyatu dengan "Lubang Hitam". Di wajahnya kini memiliki rahang sebesar kuda nil, perutnya kecil dalam bentuknya yang baru yang diikat oleh cincin serupa Saturnus. Rahang besar itu senantiasa dalam posisi terbuka, kemudian menjadi materi gelap pelahap masif bintang-bintang.

Galaksi bima sakti, habis.

Galaksi andromeda, tak lagi tersisa.

Berikutnya lagi, galaksi black eye. Tinggal kenangan.

Berikutnya lagi, dan lagi dan lagi..

Jika saja bukan karena Tuhan berkuasa membuat sebegitu banyak galaksi di alam ini, bintang-bintang itu sudah habis di telan oleh sang Ali Topan yang menjelma menjadi "Lubang Hitam". Ia tiada habis-habisnya menelan masuk materi angkasa, tapi perutnya yang kecil tak kunjung merasa kenyang.

Jarum panjang jam dinding menggenapkan pukul delapan belas tepat. Sang Ali Topan terbangun dari tidur dan menyadari rahangnya terbuka lebar kala tidur. Tidurnya pulas. Namun tubuhnya dingin-lemas dengan perut keroncongan. Ia pun beranjak dari tempat tidur menuju meja makan. 

Dalam hatinya ia berkata, "apakah tadi aku bermimpi?"


2 komentar untuk "ASTROTERONE"

N Firmansyah 15 Juni 2015 pukul 00.11 Hapus Komentar
Ini keren banget ceritanya. Penuh apa ya istilahnya.
ikhsan keren 15 Juni 2015 pukul 03.58 Hapus Komentar
hahaha..terima kasih bung Firman