MELANCONG KE GILI TRAWANGAN (Part 1: Intro)
Saya
: "Good morning, thank you for calling Goodway Vacation Club
Jakarta. Ikhsan speaking, may I assist you?"
Tamu
: "Tolong carikan hotel di Gili Trawangan dong, mas."
Saya
: "Sudah punya referensi hotelnya, bu?"
Tamu
: "Dicarikan aja yang bintang empat."
Saya
: "Untuk berapa malam, bu?"
Tamu
: "Dua malam."
Saya
: "Baik bu, mohon diinformasikan terlebih dahulu nomor
keanggotaan dan nama lengkapnya.."
Tamu
: "Nomor keanggotaan saya...dst...dst.."
Inilah model percakapan via telepon yang sering saya gunakan saat bekerja, tiap hari.
Gili
Trawangan adalah salah satu destinasi yang sering saya dengar saat
membantu tamu kami ingin berlibur bersama keluarga. Pulau tersebut datang bersama gelombang frekuensi yang masuk ke dalam telinga saya lalu memantul ke syaraf ingatan saya. Itu sebabnya,
kosa kata “Gili Trawangan” begitu melekat di pikiran saya.
Pernah
suatu ketika, saya membantu pemesanan hotel di Gili Trawangan untuk
tamu kami dari Bali. Beliau adalah seorang pengusaha wedding boutique
yang cukup besar, dia juga seorang lulusan sarjana kepariwisataan,
sehingga tidak heran jika beliau sangat mengerti mekanisme detail
pemesanan hotel. Wanita mapan ini ingin dicarikan penginapan di Gili
Trawangan dengan kriteria bintang empat, harga terjangkau dan dekat
pantai, dan saya sarankan di hotel J. Ia langsung menanggapi bahwa
hotel tersebut jauh dari pelabuhan ke sisi utara pulau dan meminta
yang di daerah dekat pasar seni atau bisa juga di turtle sanctuary. Ringkasnya,
melalui bantuan teknologi online, di setujuilah penginapan X, sebuah hotel
berbintang tiga dengan harga terjangkau, serta fasilitas yang cukup
memadai. Malam saat beliau di hotel, saya dihubungi bahwa hotel
tersebut jauh dari gambaran sebenarnya di internet, ditambah
lagi banyak cicaknya. Tamu saya komplain dan ingin diatur ulang
penginapannya, malam itu juga! Suatu permintaan yang sulit dilakukan
saat di luar kantor.
Pengalaman
ini justru memberikan efek perenungan buat saya, kenapa tamu saya
yang dari Bali ini begitu terobsesi dengan Lombok, terutama Gili
Indah? Apakah sebegitu indahnya kah hingga melebihi Bali, atau, bagaimana? Maka
dari perenungan inilah timbul rasa penasaran saya untuk mendapat jawabannya. Officially,
pengalaman bekerja menjadi pintu masuknya keinginan saya berwisata ke
Lombok.
Hasrat
berwisata ke Gili Trawangan ini mendapat momentumnya saat suhu
politik di Jakarta meningkat. Kobar api perseteruan antar pendukung
di dunia maya memercik hingga ke dalam realitasnya. Nada-nada persaingan
begitu kasat dan relevan antara yang ada di medsos dengan
spanduk-spanduk jalanan, rumah ibadah, dan di jalanan umum, belum
lagi, ditambah dengan intervensi media massa nasional dan lokal.
Setiap orang tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Perenungan lagi
buat saya : kondisi tanpa kendali ini bukan berarti saya kehilangan
kedamaian; bahwa saya masih bisa meraih kedamaian di luar sana; bahwa
masih ada sesuatu yang bisa saya kendalikan dan saya wujudkan, yaitu :
perjalanan wisata ke Gili Trawangan.
Saya putuskan tema kegiatan wisata ini adalah backacking. Seminggu
sebelum Hari H pemilukada, saya booking tiket kereta api Jakarta-Surabaya
untuk hari Rabu, tanggal 19 April, dengan asumsi saya akan sampai ke
kota tersebut pada hari Kamis pagi, dan berkesempatan naik Ferry dari
Tanjung Perak ke Pelabuhan Lembar, Lombok, pada sorenya. "Sempurna!", begitu pikir saya...
Pada tiga hari sebelum keberangkatan ke Surabaya, saya ingin kepastian rencana backpacking ini tidak terganggu. Saya menelepon ASDP Surabaya dan dijelaskan bahwa pemesanan tiket Ferry
tidak bisa dilakukan via online serta jadwal keberangkatan
Surabaya-Lombok tidak lagi tiap hari Kamis, tetapi diganti menjadi
tiap Sabtu sore... Sial!
-Bersambung-
9 komentar untuk "MELANCONG KE GILI TRAWANGAN (Part 1: Intro)"
hihihi ditunggu part duanya!!!