EGO
Di kegelapan sore, bergumpal-gumpal
awan kelabu nan pekat menebarkan butir-butir air. Jatuh. Tajam. Angin pun membawa
butiran-butiran air itu ke kaca kamarku hingga bergetar dan terdengar bunyi
menetak-netak.
Bersandar di pinggir bingkai
jendela kamar, aku bagaikan pelakon di bawah panggung sandiwara, dan awan-awan
perkasa itu sebagai penontonnya. Mereka berkumpul-menggumpal lalu memandangku
sinis, serta berkonspirasi meludahiku karena ekspresiku yang buruk. Aku juga
dicambuknya dengan kilatan cahaya. Tampaknya sekawanan awan itu membenci
peranku di bawah sini, dan meneriakiku agar bersandiwara lebih baik lagi. Aku
memang wanita yang telah kehilangan segalanya kini, wahai awan. Namun karenanya
aku kuat. Kalian takkan bisa menakutiku sekarang. Takkan lagi!
Pada detik berikutnya aku
melihat seekor kunang-kunang di luar cuaca hujan. Tiba-tiba ia datang di antara
pot-pot bunga melati pekarangan rumahku. Seperti sihir kudapati penampakannya.
Kudekatkan wajahku di kaca jendela dengan perasaan senang tak terkira. Ia tampak
jelas melayang. Makhluk bercahaya itu seperti dari dimensi lain yang bergerak
lamat-lamat menembus dinding bata tak berplester di dalam kamarku. Darimana
kemampuan ajaib kunang-kunang ini? Apakah ia memiliki tekad yang sama denganku untuk
melawan semua arogansi sekumpulan awan di atas? Perlahan-lahan binatang itu datang kepadaku. Apakah kau hadiah tuhan untukku, cantik? Kemarilah..
Sumber ilustrasi : bloodyviruz.deviantart.com |
Cahaya fosfor serangga kecil
ini kemudian berpendar dan menaburi seluruh mataku. Membuatku sedikit pusing
karenanya. Setelah penglihatanku kembali fokus, makhluk melayang itu telah melipatgandakan
dirinya menjadi tiga kali lipat jumlahnya. Makin ajaib. Bahkan, salah satu dari mereka
memanggil namaku dengan suaranya yang mirip Gilang. Suara panggilan yang kukenal
saat pria itu menyambutku di salah satu pusat perbelanjaan Jakarta Selatan. Seluruh
kulitku bergetar dibuatnya. Tak terasa, airmata mengalir lembut dari salah
satu sudut mataku.
Gilang. Kaulah “ksatria
putih” impianku. Perawakanmu sangat ideal. Teman-temanku bilang kau seperti karakter dalam
kisah-kisah dongeng. Tampan, bertubuh jangkung, kekar, selalu rapih, dengan warna kulit yang cokelat-benderang. Profesimu sebagai
anggota TNI makin menggugah hatiku. Membuatku bangga memilikimu..
Entah bagaimana kejadiannya,
kunang-kunang itu telah berjumlah puluhan sekarang. Padahal hanya sebentar saja
aku termenung mendeskripsikan kesempurnaan Gilang. Kini, tiruan suara Gilang
secara acak memanggilku berulang-ulang kali. Tiap satu kunang-kunang mewakili
panggilan di momen yang berbeda. Beberapa suara terdengar keras dan dapat kuingat. Pertama, panggilan
mesra suaranya jika ingin mengajakku kencan malam minggu, lalu bentakan posesifnya
saat melihatku membalas SMS semua pria kenalanku, kemudian rayu suaranya untuk
berhubungan intim. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku..
Suara merayunya terdengar lagi. Namun serta merta tergantikan dengan ungkapan cinta pertama kali darinya untukku. Lalu, tiba-tiba, muncul suara keras-mengancam darinya saat Gilang menarikku dengan kasar dan tak berperasaan di pusat kuliner Pasar Santa. Sungguh membuatku malu.. Hancur sebagian besar pertemananku karena tindakannya. Setiap suara yang kurindukan darinya selalu berganti cepat dengan suara-suaranya yang merusak suasana. Begitu seterusnya. Kondisi ini membuat perseteruan di pikiranku. Betapa aku ingin kembali di pelukannya. Tetapi di sisi yang lain, aku tidak sanggup menanggung resiko tambahan jika bersamanya lagi. Namun semua terlambat. Aku hancur. Rusak. Dan terakhir, aku dengar suara mengiba Gilang untuk menikahi anak komandannya.
Suara merayunya terdengar lagi. Namun serta merta tergantikan dengan ungkapan cinta pertama kali darinya untukku. Lalu, tiba-tiba, muncul suara keras-mengancam darinya saat Gilang menarikku dengan kasar dan tak berperasaan di pusat kuliner Pasar Santa. Sungguh membuatku malu.. Hancur sebagian besar pertemananku karena tindakannya. Setiap suara yang kurindukan darinya selalu berganti cepat dengan suara-suaranya yang merusak suasana. Begitu seterusnya. Kondisi ini membuat perseteruan di pikiranku. Betapa aku ingin kembali di pelukannya. Tetapi di sisi yang lain, aku tidak sanggup menanggung resiko tambahan jika bersamanya lagi. Namun semua terlambat. Aku hancur. Rusak. Dan terakhir, aku dengar suara mengiba Gilang untuk menikahi anak komandannya.
Setiap momen suara Gilang
bagaikan lapisan-lapisan ombak di dalam hatiku; bercampur aduk hingga menguras
seluruh energi dan perasaanku. Sudah tak ada lagi sisa airmata untuk kukeluarkan.
Segalanya telah kering. Yang kutahu kini
hanyalah: kunang-kunang itu telah mencapai ribuan banyaknya. Mengapa
kunang-kunang cantik ini menggangguku dengan suara Gilang? Apakah makhluk-makhluk
kecil ini lebih kejam dari sekumpulan awan di atas? Mataku makin berat
akibat pendaran cahaya temaram yang keluar dari ribuan serangga kecil itu.
Kulihat Kak Rita masuk ke kamarku sebelum sempat mata ini tertutup. Ia terkejut dan serta merta memekik panik,
Kulihat Kak Rita masuk ke kamarku sebelum sempat mata ini tertutup. Ia terkejut dan serta merta memekik panik,
“Kinaaaaannnn!!!!”
Sebelum sepenuhnya tertidur,
aku mendengar kegaduhan. Lalu segalanya hilang..
Sumber ilustrasi : theaudislave.deviantart.com |
Saat tersadar, kegelapan
menyelimuti sekelilingku. Kosong. Hampa. Gelap. Gelap yang lebih pekat dari kegelapan malam. Ke arah
mana saja wajah ini kuhadapkan, tidak ada apa-apa. Hanya hitam tak berkesudahan. Tak terlihat setitik cahaya meski hanya sebersit, meski hanya pendaran cahaya fosfor kunang-kunang. Rasa takut
menghantamku. Aku berteriak sejadi-jadinya; memohon; meminta tolong, tapi tiada siapapun yang
merespon. Semakin aku berteriak, kegelapan di sekelilingku seakan menyerap suara yang ku keluarkan. Seperti berada di dalam ruangan kedap suara. Bekerjakah pita suaraku? Aku tidak yakin dengan kinerja pita suaraku. Aku bahkan tidak yakin dengan diriku sendiri, kini. Aku pun menangis
sejadi-jadinya.
Lalu suara itu datang. Bukan
dari mana atau dari siapa-siapa. Tetapi dari salah satu sudut kegelapan. Pemilik suara itu
memanggilku lembut dan dipenuhi zikir. Suaranya bergetar, berat, dan berumur.
Itu adalah suara ibuku! Ingin kulihat wajah ibuku. Wajah yang menenangkanku.
Wajah yang kubutuhkan.
“Bu! Ibu dimana?! Keluarkan
Kinan dari sini. Tolong!”
Namun sia-sia. Suara
itu memang tetap memanggilku lembut, tapi itu bukan respon atas panggilanku. Suara
ibuku ini adalah suara yang mengingatkan dan menguatkan.
Aku
harus keluar dari sini, segera.. Tapi aku tidak tahu harus
berbuat apa. Aku hanya bisa menangis dan berharap ibuku datang menyelamatkanku.
Akan kubayar berapapun nilainya agar aku dapat keluar dari kegelapan ini. Berapapun.
Apapun.
Hingga – entah – teriakan memohon
yang ke berapa, seberkas sinar masuk menerobos ke kegelapan. Perlahan-lahan
sinar membelah kegelapan itu menjadi dua bagian, puluhan bagian, hingga jutaan
bagian, lalu seluruh keadaan menjadi sangat menyilaukan. Saat retina mataku
mampu menerjemahkan keadaan, kulihat wajah basah ibuku dengan senyuman penuh
syukur.
Sambil membelai rambutku,
ibu berkata, “Alhamdulillah, si
geulis teh sudah sadar..”
Kugerakkan bibirku mengulang
zikir yang diucapkan ibu sebelumnya. Tapi aku terlalu lemah dan sedih untuk
dapat mengeluarkan suara. Ibu mengerti kondisiku, ia memang selalu tahu. Saat kubalas
rangkulan sayang dari wanita yang telah melahirkanku, terlihat kain kasa tebal membebat pergelangan tanganku. Kusadari betapa egoisnya diriku
karena perasaan sesaat. Maafkan aku.. Maafkan aku..
Posting Komentar untuk "EGO"