LAGU WAJIB SURABAYA (Melancong ke Gili Trawangan Part 2)
"Coba
Dhul, cek perubahan Surabaya semenjak dipimpin Risma?" Begitu
pesan grup WA di smartphone saya.
Tidak ada ingatan saya tentang Kota
ini kecuali saat studi tur semasa STM, yaitu: panas mengungkup. Tapi,
semenjak saya check out dari My Studio Hotel, lalu berjalan kaki
hingga sampai di jalan Yos Sudarso, di hari itu, cahaya siang kota
Surabaya begitu ramah. Sepanjang jalan Yos Sudarso cukup padat namun sedikit pejalan kaki di trotoar. Dari sekian banyak momen di depan gedung DPRD Kota Surabaya, hanya satu yang menjadi perhatian saya : tidak satu pun mobil yang bersedia
mengambil jalur pengendara sepeda. Amazing!
Saya musti singgah di Surabaya selama tiga hari dua malam, karena jadwal keberangkatan kapal ferry ke Lombok ada di Sabtu sore.
Selama penantian itu, saya tinggal di daerah Dharmawangsa II, sebuah
area yang dikenal sebagai salah satu wilayah kosan kampus B
Universitas Airlangga. Saya menempati kamar kosan yang cukup besar dengan fasilitas lengkap (kipas angin, queen size bed, dan lemari), serta terpisah dari kamar milik sepupu teman saya. Semua itu saya nikmati free on charge. Beruntungnya saya.
Sungai Mas, Surabaya |
Menu Barbeque Ice Cream, Zangardi Ice Cream, Surabaya |
Sekilas, Masjid Muhammad Cheng Ho tidak terlihat keberadaannya. Hal itu dikarenakan posisi bangunan berada di bagian utara komplek PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), sehingga bangunan bertingkat bagian selatannya menutupi bangunan masjid. Ketika melangkah masuk ke dalam komplek, saya rasakan nuansa teduh memancar yang ternyata berpusat pada bangunan merah dengan 8 Pat Kwa di atasnya. Sosok bangunan hanya seluas 9x11 meter, namun benar-benar mencirikan kebudayaan Tiongkok. Fungsi masjid diperkuat dengan hadirnya lapangan olahraga dan kegiatan belajar-mengajar, sedangkan kesan masjidnya diperkuat dengan lafadz berbahasa Arab dan beberapa ornamen Cina. Lebih jelasnya, tanah seluas 3070 M2 tersebut merupakan hasil hibah dari H.M Trisnoadi Tantiono dan H.M.Y Bambang Sujanto untuk Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia. Melalui kehadiran Masjid Muhammad Cheng Ho, akulturasi di Surabaya mendapatkan simbolnya, menurut saya.
Masjid Cheng Ho, Surabaya, nan menawan |
Ornamen Laksamana Cheng Ho di sisi kanan Masjid Cheng Ho Surabaya |
Ruang dalam Masjid Cheng Ho, Surabaya |
Perjalanan saya berlanjut ke jembatan Suramadu. Dibantu seorang kakek
pengendara ojek online, saya menelusuri jalan menuju bagian utara
kota Surabaya. Di bagian ini, saya menyaksikan sisi urban fringe ibukota. Kemacetan, kesimpangsiuran lalu lintas jalan, konvoi
truk-truk berat, debu asap knalpot, teriakan Bonek mania,
lapak-lapak besi di trotoar jalan, dan stereotip orang Madura di
Surabaya. Kakek yang membantu saya berkendara menyebut mereka sebagai
Englis (bukan pronounce: english).
Sayangnya, sang kakek menolak memberitahu saya arti
sesungguhnya dari Englis meski sudah diminta berkali-kali. Masih ada banyak istilah lain, menurut sang kakek. Semuanya diciptakan oleh sebagian besar warga Surabaya, dan bermakna negatif. Tetapi saya malas untuk
mendalaminya lebih lanjut, karena meredam konflik semacam ini adalah
tantangan pejabat setempat ke depannya.
Jembatan yang saya tuju adalah penghubung dua pulau dan memanjang hingga 5000 meter lebih melintasi
selat. Sejatinya, jembatan Suramadu adalah jalan tol. Tetapi,
kendaran roda dua kami masuk tanpa dikenai biaya. Belakangan saya
tahu, peraturan gubernur Jawa Timur membebaskan biaya masuk tol bagi
pengendara motor di Suramadu untuk mengurangi kemacetan yang terjadi,
terutama menjelang Iedul Adha. Beberapa taman hiburan hadir untuk
mendukung landmark ini sebagai
destinasi wisata. Sayang, beberapa aspek kurang mendapatkan
perhatian, terutama untuk hal berupa publikasi. Perlu
diketahui bahwa biaya ojek saya untuk sekali thawaf di sana (Masjid Cheng
Ho – Jembatan Suramadu – Bangkalan – Jembatan Suramadu –
World Trade Center Surabaya) hanya sebesar Rp 50.000,-. Prioritas lain tampaknya menguras perhatian pejabat terkait ketimbang faktor wisata di jembatan terpanjang se-Indonesia ini. Entahlah..
Program untuk usahawan kecil di Surabaya juga menarik untuk disimak. Saya mendapati informasinya melalui jalan-jalan saya ke Pasar Pagi Tugu Pahlawan. Dulunya, pasar kaget ini hanya beroperasi di hari libur, di pukul 5 - 11 Wib. Sekarang, waktu operasional di tambah hingga Senin-Jumat, pukul 5 - 9 pagi. Banyak dari para pedagang menjual jenis-jenis
pakaian murah, dan kebanyakan bekas. Tapi sepanjang
pengamatan saya, kualitasnya masih bagus. Banyak juga penjaja makanan
kecil di sana yang tentu tidak kalah nikmat, serta penjual
aksesoris-aksesoris lain. Kegiatannya hampir mirip dengan Pasar Senen
di Jakarta.
Saat bergerak
masuk ke komplek Tugu Pahlawan, saya menemukan fakta kota
Surabaya yang disebut sebagai Kota Pahlawan. Sisa-sisa reruntuhan berdiri di selatan komplek tugu. Pada tiang rerentuhannya tertulis kata-kata perjuangan yang senantiasa terawat untuk diabadikan. Sedangkan di area timur, koleksi kendaraan masa-masa perjuangan
diperagakan. Beberapa meter kemudian, akses masuk menuju museum di
bawah langsung bisa saya temui.
Sebagaimana perannya, di museum tersebut terdapat diorama, serta koleksi semasa agresi militer asing di tahun 1945, seperti : buku harian Bung Tomo, perlengkapan senjata pasukan Inggris, dokumentasi foto, serta koleksi bambu runcing. Takjub saya ketika mengetahui bahwa para pahlawan tersebut mampu menghabisi ribuan pasukan Inggris hanya berbekal bambu runcing . Jujur saja, saya tidak dapat mendeskripsikan museum ini dengan majas yang saya ketahui, karena ketakjuban saya berlanjut dengan kehadiran beberapa remaja berseragam sekolah, di pagi hari Sabtu, pukul delapan. Mereka datang tidak dengan cekikan manja, narsis berlebihan, atau sikap hedon ter-update produk sinetron Indonesia. Gelagat mereka adalah gelagat terpelajar; datang sambil memperhatikan dengan seksama satu persatu koleksi museum. Tak berselang lama, rombongan studi tur anak-anak TK berbaris masuk ke museum 10 November. Kondisi museum pun hiruk pikuk.
Sebagaimana perannya, di museum tersebut terdapat diorama, serta koleksi semasa agresi militer asing di tahun 1945, seperti : buku harian Bung Tomo, perlengkapan senjata pasukan Inggris, dokumentasi foto, serta koleksi bambu runcing. Takjub saya ketika mengetahui bahwa para pahlawan tersebut mampu menghabisi ribuan pasukan Inggris hanya berbekal bambu runcing . Jujur saja, saya tidak dapat mendeskripsikan museum ini dengan majas yang saya ketahui, karena ketakjuban saya berlanjut dengan kehadiran beberapa remaja berseragam sekolah, di pagi hari Sabtu, pukul delapan. Mereka datang tidak dengan cekikan manja, narsis berlebihan, atau sikap hedon ter-update produk sinetron Indonesia. Gelagat mereka adalah gelagat terpelajar; datang sambil memperhatikan dengan seksama satu persatu koleksi museum. Tak berselang lama, rombongan studi tur anak-anak TK berbaris masuk ke museum 10 November. Kondisi museum pun hiruk pikuk.
Kota Surabaya memiliki simbol Hiu dan Buaya, dipenuhi warna-warni
bunga, taman-taman, sungai yang bersih dari sampah, dan landmark kepahlawanan. Pelabuhan Tanjung Perak pun kini memiliki fasilitas pelayanan
layaknya standar bandara internasional. Saya tidak terlalu mengenal
Surabaya. Namun saya yakin, Surabaya kini mengalami peningkatan
positif yang drastis sebagai sebuah kota besar.
40 komentar untuk "LAGU WAJIB SURABAYA (Melancong ke Gili Trawangan Part 2)"
Kl titik 0 Surabaya itu di pertemuan antara jalan Johar dg jalan Pahlawan. Saya gak sebut di dalam komplek, tapi "dekat dari sana" :D
dulu cuma transit aja di bandara bentar
moga suatu hari bisa keliling surabaya
makasih sharingnya ya
Kata tukang ojek onlinenya sih gitu..
Wah.. hari ini cerita Surabaya..kok kebetulan beberapa aku bewein..
Jadi pengen kesurabaya.. jln2 cuma 50.000 ? Enak ya..
Jadi penasaran nih ama tempatnya dan kapan kapan klo kesurabaya melancong yg ada di foto ah
kode keras ini seperrtinya harus mampir ke surabaya jg kalau nanti ke malang beberapa bln lagi..
Merdeka!
Atau mati!
Inget itu, pasti terbayang-bayang suara Bung Tomo yang penuh semangat perjuangan.
Tapi,
Kalo mau lihat Surabaya berubah...jalan-jalannya kurang lamaa..
Hiihii...sekarang ruang publik di Surabaya sudah jauuuh...lebih banyak, nyaman dan adeemm.
Hayook..
Ke Surabaya lagi.