ALAT PENDETEKSI BENCANA DI INDONESIA MINIM, HAL INI YANG PERLU DILAKUKAN OLEH MEREKA!
“Indonesia itu negara sexy,” begitu tandas Antonius Bambang
Wijanarto, Kepala Pusat Jaring Kontrol Badan Infromasi Geospasial R.I.
Dalam paparan presentasinya di gedung BMKG, Kemayoran,
Jakarta, ia memberikan perumpamaan tersebut bukan sebagai bentuk sanjungan,
tetapi sesuatu yang harus dipahami bersama bahwasanya Indonesia merupakan
daerah pertemuan tiga lempengan tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia,
Eurasia, dan lempeng Pasifik. Akibatnya adalah jika salah satu lempengan bumi
itu bergerak maka sudah dipastikan bumi nusantara akan ikut ‘berdansa’, atau
yang disebut dengan bencana.
Dok.Pri |
Diapit oleh 3 lempengan tektonik besar memang membawa berkah
tersendiri bagi Indonesia. Negeri yang kaya akan sumber daya alam, subur, dan
menjadi perhatian dunia karena keindahan panoramanya. Akan tetapi bencana juga
rentan terjadi di sini. Tercatat, 5000 hingga 6000 kali terjadi gempa, mulai
dari guncangan kecil hingga di atas magnitudo 5, tiap tahunnya. Hal itu
berkolerasi kuat dengan kondisi geografis Indonesia yang memang terletak di
kawasan rawan bencana (ring of fire).
Melihat ke tahun-tahun belakang di mana bencana gempa, baik
yang dibarengi susulan tsunami maupun tidak terjadi merenggut begitu banyak
jiwa. Hampir separuh dari total korban jiwa akibat bencana alam yang terjadi di
dunia ada di Indonesia. Jumlah cukup membuat hati miris : 10.373 jiwa!
Dok.Pri |
United Nation Internasional Strategy of Disaster Reductio
(UNISDR) juga memberikan catatan, hingga menjelang penghujung Januari 2019
angka korban meninggal akibat bencana alam di Indonesia tertinggi di dunia.
Yakni, mencapai 4.535 jiwa. Dan, dari angka itu, bencana geologi antara lain
gempa, tsunami, dan erupsi gunung berapi menjadi sumber penyebab utama jatuhnya
korban, dengan angka setidaknya mencapai 4.417 jiwa.
Mengenang Kembali
Bencana Alam Pada Tahun Lalu
Masih terkenang di benak kita, saat Pulau Lombok diterjang
guncangan setara magnitudo 7, dan menghancurkan berbagai fasilitas dan bangunan
tempat tinggal. Kejadian ini melumpuhkan perekonomian, dan masyarakat
kehilangan harta benda. Mereka harus memulai kehidupan dari nol kembali.
Di Palu, gempa dibarengi tsunami menyapu sebagian besar
kawasan kota. Sebagian kawasan yang lain hilang tak berbekas akibat likuifaksi.
Kejadian ini termasuk besar, akibat tak terprediksi sebelumnya.
Dok.Pri |
Gempa di Kota Palu terjadi akibat pergeseran sesar dengan
pola strike-slip, yaitu ketika bongkahan kerak-kerak bumi saling bergerak ke
dalam satu sama lain di sepanjang bidang horizontal (VOA Indonesia). Dilihat
dari ukurannya, pergeseran sesar ini seharusnya tidak menyebabkan tsunami yang
besar. Namun, hal itu terjadi oleh karena adanya longsoran di bawah laut setelahnya
yang mengakibatkan air laut terangkat ke daratan.
Kejadian tsunami akibat longsoran material ke laut juga
terjadi ketika Gunung Anak Krakatau erupsi. BMKG tidak menyangka tsunami akan
terjadi di Selat Sunda, di mana wilayah Banten dan Lampung Selatan menjadi sasarannya,
hingga ratusan nyawa melayang.
Kejadian tsunami yang diakibatkan longsor ini dapat juga
dikatakan sebagai Silent Disaster, karena polanya tidak terdeteksi oleh alat
pendekteksi bencana, dan tiba-tiba sudah mencapai ke permukaan tanah.
Alat Canggih Seakan
Tak Berfungsi
Seringkali yang terjadi memang kecepatan terjadinya bencana
lebih cepat dari kemampuan teknologi menginformasikan perihal kepada masyarakat
setempat. Seperti yang terjadi di Mentawai. Hal ini karena faktor alam yang
menjadikannya sedemikian rentan diterjang bencana.
Tak selamanya kita bergantung sepenuhnya kepada teknologi,
terutama ketika bencana terjadi. Ada hal yang lebih utama selain dari kehadiran
teknologi pendeteksinya, yaitu : kesadaran masyarakat untuk mengantisipasi
kejadian bencana guna mengurangi risiko yang nyata.
Dok.Pri |
Maka dari itu, target pemerintah selain meningkatkan jumlah
kuantitas dan kualitas alat pendeteksi kebencanaan adalah dengan pemberdayaan
masyarakat untuk melakukan Evakuasi Mandiri.
Evakuasi Mandiri adalah langkah-langkah peningkatan
kapasitas diri pribadi dan keluarga guna menghadapi darurat bencana secara
cepat. Pada 9 Februari 2019 kemarin, simulasi Evakuasi Mandiri sudah
dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Diantaranya : Mentawai, Kota
Padang, dan Padang Panjang.
Program ini sebagai salah satu ikhtiar bagi pemerintah Indonesia
menjawab tantangan mengantisipasi bencana yang akan berlangsung ke depannya.
Prediksi BNPB, pada tahun 2019 ini akan terjadi peningkatan bencana di
Indonesia sebanyak 350 persen.
Arahan Presiden
Terkait Implementasi Mitigasi
Berbekal kesadaran itulah, mitigasi bencana sejatinya telah
menjadi perhatian serius dari pemerintah. Apalagi, kesadaran masyarakat untuk
sekedar menjaga peralatan pendeteksi bencana saja masih terbilang minim.
Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Nasional BNPB
dan BPBD se-Indonesia memberikan setidaknya enam arahan terkait implementasi
mitigasi bencana, di antaranya :
Arahan pertama, setiap (perencanaan) pembangunan harus
dilandaskan pada aspek-aspek pengurangan risiko bencana. Di mana, pemda harus
tegas menetapkan tata ruang berbasis risiko bencana. Karena pada dasarnya, peta
ruang bencana seluruh Indonesia telah rampung dibuat, dan telah disebarkan ke
seluruh pemerintah daerah yang ada di Indonesia. Begitu menurut Hendra Gunawan,
Kepala Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat PVMBG.
Kedua, pelibatan akademisi dan pakar bencana untuk mengkaji,
menganalisis potensi bencana supaya mampu memprediksi siklus ancaman,
mengantisipasi dan mengurangi dampak buruk bencana alam.
Ketiga, menunjuk gubernur sebagai komandan satuan tugas
penanganan kondisi darurat dengan didukung pangdam dan kapolda sebagai
wakilnya, saat terjadi bencana.
Kemudian keempat adalah kepala BNPB diberikan tugas
mengordinasikan kementerian dan lembaga terkait untuk membangun sistem
peringatan dini terpadu berbasis rekomendasi hasil penelitian dan pengkajian para
pakar.
Kelima, pendidikan kebencanaan akan di mulai tahun ini, baik
di sekolah maupun di lingkungan sekitar masyarakat. Kegiatan ini akan diutamakan
di daerah-daerah rawan bencana. Papan peringatan, rute evakuasi harus dibuat
dan dipasang dengan jelas.
Terakhir, keenam, perlu dilakukan simulasi dan pelatihan
(gladi) penanganan bencana secara berkala dan berkesinambungan hingga ke
tingkat RT/RW agar membangun kesiapsiagaan bencana masyarakat.
Oleh karenanya, pemerintah melalui BNPB akan menjadikan 26
April sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB), yang mana akan dilaksanakannya
program simulasi Evakuasi Mandiri di sekolah-sekolah maupun di rumah-rumah.
1 komentar untuk "ALAT PENDETEKSI BENCANA DI INDONESIA MINIM, HAL INI YANG PERLU DILAKUKAN OLEH MEREKA!"
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*E*W*A*P*K
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)