CONTOH BAB 2 SKRIPSI TENTANG IKLAN KAMPANYE POLITIK
Halo, para akademisi tingkat akhir Ilmu Komunikasi atau Ilmu Sosial-Politik. Bagaimana kabarnya? Tentu baik-baik saja, ya. Walaupun penat dan bingung dengan penelitian akhirnya. Saya juga pernah merasakannya, kok.
Hari ini saya ingin berbagi dengan kawan-kawan akademisi sekalian dalam hal mempersiapkan bahasan teori untuk bab 2 skripsi kalian. Mungkin nggak terlalu sempurna, tapi saya yakin dapat membantu kalian mendapatkan ide meski sedikit. Haha.
Sebagai pengantar nih ya, artikel saya ini diambil dari skripsi saya mengenai iklan layanan politik yang dimanfaatkan incumbent untuk memperkenalkan profil dirinya demi kepentingan pemilihan umum daerah. Pasti seru kan? Apalagi tahun 2018 ini menjadi tahun politik di mana sebagian daerah akan melaksanakan Pemilukada serentak dan di tahun depannya, Indonesia akan melangsungkan Pemilu Presiden.
Pemilukada yang akan berlangsung tahun ini tentu akan menjadi momen konsolidasi politikus yang niat banget menjadi penguasa di negeri dengan populasi muslim terbesar se-dunia ini. Maksudnya, menang di daerah bisa jadi jalan untuk memuluskan sekelompok orang untuk menguasai jumlah perolehan suara di tahun 2019 nanti.
Biasanya nih, para politikus akan melakukan apa saja untuk memenuhi hasrat mereka. Demi kekuasaan, demi pamoritas, dan demi rencana jangka panjang mereka masing-masing.
Lalu, apakah mungkin para politikus itu melanggar etika dan memanfaatkan kekurangan perihal hukum kampanye pemilu di negeri ini demi maksud di atas?Bisa saja.
Nah, untuk kesempatan ini saya akan bahas "etika dan kode etika" terlebih dahulu, agar teman-teman akademisi mendapatkan gambaran yang jelas mengenai apa yang baik dan apa yang buruk secara umum yang dianut oleh masyarakat kita. Setelahnya, saya akan bahas kerangka pemikiran lain di kesempatan berikutnya.
Oh iya, bagi yang sudah bukan lagi seorang akademisi diperkenankan membaca kok. Jangan sungkan ya. Segala kritik dan saran serta masukan yang mampir di kolom komentar, saya terima dengan baik.
Gak menunggu lebih lama lagi, yuk, cekidot,
2.1 Etika dan Kode Etik
Manusia sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa membedakan mana perilaku yang baik dengan perilaku yang buruk. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk menilai hubungannya dengan manusia yang lain. Maka dari hal tersebut, masing-masing kelompok manusia memiliki standar norma tertentu yang menjadi pedoman hubungannya dengan sesama mereka.
Standar norma yang dianut sekelompok manusia ini yang membentuk etika. ‘Etika’ sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani kuno ‘ethos’ (jamak: ‘ta etha’) yang berarti: adat kebiasaan, cara berpikir, akhlak, sikap, watak, cara bertindak. Sedangkan melalui pengertian yang umum etika dapat digambarkan sebagai: nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipakai oleh seseorang atau suatu kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya. Melalui pengertian umum etika ini kemudian dapat disimpulkan bahwa fungsi etika secara umum ada dua, yaitu: pertama, sebagai subyek etika berfungsi untuk menilai tindakan-tindakan yang baik dan buruk, serta yang benar dan yang salah. Kedua, sebagai obyek etika berfungsi sebagai teknis untuk melakukan sesuatu berdasarkan moral.
Namun di dalam penelitian ini peneliti ingin memfokuskan pengertian etika dari sudut pandang A.A. Oka Mahendra (2003) yang mendefiniskan etika sebagai refleksi kritis tingkah laku manusia, tingkah laku bangsa, dari sudut norma atau dari segi patut atau tidak patut, dari segi baik atau buruk. Melalui pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa etika yang dianut suatu bangsa menentukan tingkah laku dan cara bergaul bangsa tersebut dalam membina hubungannya dengan bangsa lain. Sehingga dapat dikatakan juga di sini bahwa kemunduran etika dalam kehidupan berbangsa dapat menjadi ancaman serius terhadap masa depan bangsa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan kemunduran dari etika dalam kehidupan berbangsa dapat berimbas kepada carut marutnya permasalahan yang akan ditanggung oleh suatu bangsa. Nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, sportivitas, amanah, keteladanan, kedisiplinan, semangat bekerja, tanggung jawab profesi dan moral, toleransi, welas asih, gotong royong, serta lainnya tersebut mulai tergerus dan memudar sebagai jati diri bangsa akibat satu dan lain hal. Dalam kata lain kerangka sebuah bangsa dalam memberikan batasan-batasan etika dalam proses berdemokrasi, semisal kebijakan publik yang mengandung prinsip-prinsip publisitas, transparansi, persamaan, kebebasan, dan akuntabilitas tidak dilandasi oleh moralitas.
Sehingga dapat dipahami bahwa ‘etika’ di jaman modern ini memiliki nilai urgensitasnya, di mana diantaranya adalah:
Manusia hidup dalam masyarakat yang makin pluralis, dan dihadapkan dengan sekian banyak pandangan moral yang seringkali bertentangan satu sama lain.
Manusia hidup dalam masa transformasi masyarakat tanpa tanding; transformasi ekonomi, intelektual dan budaya, yang menantang budaya tradisional. Dalam situasi ini, etika membantu agar kita tidak kehilangan orientasi.
Banyaknya tawaran ideologi sebagai penyelamat bagi kehidupan manusia. Sehingga dengan demikian, etika membantu manusia untuk sanggup menghadapi ideologi-ideologi itu dengan kritis dan objektif dan membentuk penilaiannya sendiri agar tidak mudah terpancing mengikutinya.
Menurut R. Ogien (2003) yang dikutip di dalam buku “Etika Komunikasi” karangan Haryatmoko (2007), minimal etika memiliki tiga pilar, yang diantaranya adalah:
Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”. Konsepsi ini menghargai hak akan kemandirian moral dalam kasus ini berarti kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya/kelompoknya.
Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain. Prinsip ini berasal dari cara berpikir konsekuensialis yang sangat peduli pada efek yang menimpa individu, bisa berupa kerugian fisik atau psikologis.
Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan pada suara atau kepentingan setiap orang. Pada prinsip kedua dan ketiga ini memiliki jaminan akan kesetaraan, maka berfungsi mengatur hubungan dengan pihak lain, dengan menghindari semua bentuk paternialisme.
Sebagai penghantar kepada pembahasan selanjutnya mengenai ‘kode etik’, peneliti akan menyampaikan di sini mengenai definisi etika oleh K. Bartens yang membedakannya menjadi tiga pengertian yang berbeda, sambil mempertajam dan merubah urutannya: Pertama, kata ‘etika’ dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Di sini etika tidak dimaksudkan sebagai ‘ilmu’, dan secara singkat dapat dirumuskan sebagai ‘sistem nilai’. Kedua, kata ‘etika’ berarti juga ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Ketiga, kata ‘etika’ berarti juga kumpulan azas atau nilai moral yang dirumuskan secara tertulis, singkat, dan padat, yang biasa disebut sebagai ‘kode etik’.
Sehingga dengan demikian, ‘etika’ dan ‘kode etik’ memiliki hubungan yang jelas kaitannya satu sama lain. Dimana ‘kode etik’ hadir melalui sekumpulan nilai-nilai moral dan norma-norma yang ada di suatu bangsa yang kemudian dikodifikasi berdasarkan kepentingannya untuk kemaslahatan masyarakat bangsa tersebut.
Yang menarik adalah bahwa ‘kode etik’ menjembatani etika dan moralitas di satu pihak dan hukum di pihak yang lainnya. Di satu pihak, kode etik merupakan kaidah moral yang berlaku khusus untuk orang-orang professional di dalam bidang tertentu. Dan di pihak yang lain kode etik tidak lagi muncul hanya sebagai bentuk imbauan tidak tertulis, melainkan telah dikodifikasikan menjadi aturan tertulis. Karena itu, kendati merupakan kaidah moral, ia dilengkapi dan ditunjang oleh sanksi yang memungkinkan keberlakuan kaidah moral ini jauh lebih pasti sebagaimana halnya dalam hukum positif pada umumnya. Untuk lebih lanjutnya, kode etik memiliki unsur komitmen moral yang menjelaskan bahwa suatu pekerjaan hanya bisa disebut sebagai profesi dalam artian sebenarnya kalau pekerjaan itu melibatkan komitmen moral yang tinggi atas kode etik yang berlaku bagi pelakunya. Sehingga, usaha dan kegiatan-kegiatan praktek yang tidak sejalan dengan kaidah-kaidah norma semacam kejujuran, keteladanan, tanggung jawab, dan lain sebagainya, tidak dapat dikatakan sebagai profesi, seperti contoh: pelacur, mafia, penjudi, perampok, pencopet dan lain sebagainya.
Ada beberapa alasan kode-kode etik profesi perlu ditulis, diantaranya adalah:
Kode-kode etik itu penting, sebagai kontrol sosial. Kode etik memberikan semacam kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi (demikian juga terhadap para anggota baru) dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip professional yang telah digariskan.
Kode-kode etik profesi mencegah pengawasan ataupun campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui beberapa agen atau pelaksananya.
Kode etik adalah penting untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi. Kode etik ini dasarnya adalah sesuatu perilaku yang sudah dianggap benar serta berdasarkan metode prosedur yang benar pula. Kode etik semacam ini sudah banyak dilakukan oleh para anggota sebuah kelompok professional, dan ini akan lebih efektif terlaksana bila kode etik tersebut dirumuskan sedemikian rupa sehingga medatangkan rasa puas pada pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam gambaran besarnya, kode etik hadir bukan dalam rangka memenuhi sifat egoistik pelaku profesi bersangkutan, akan tetapi mengarah juga pada pelayanan terhadap masyarakat umum.
Referensi:
Antonius Atosokhi Gea, dkk. 2005. CharacterBuilding IV: Relasi Dengan Dunia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
K. Bartens. 2003. Keprihatinan Moral: Telaah atas Masalah Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lila Yulvia. 2008. Bab I : Pengertian dan Filosofi Etika Manusia. Diunduh melalui situs: http://www.academia.edu/5130417/BAB_1_Pengertian_and_Filosofi_Etika_Manusia_adalah
A.A. Oka Mahendra. 2003. Merajut Benang Yang Kusut. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus.
A. Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
E. Sumaryono. 1995. Etika Profesi Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hari ini saya ingin berbagi dengan kawan-kawan akademisi sekalian dalam hal mempersiapkan bahasan teori untuk bab 2 skripsi kalian. Mungkin nggak terlalu sempurna, tapi saya yakin dapat membantu kalian mendapatkan ide meski sedikit. Haha.
Sebagai pengantar nih ya, artikel saya ini diambil dari skripsi saya mengenai iklan layanan politik yang dimanfaatkan incumbent untuk memperkenalkan profil dirinya demi kepentingan pemilihan umum daerah. Pasti seru kan? Apalagi tahun 2018 ini menjadi tahun politik di mana sebagian daerah akan melaksanakan Pemilukada serentak dan di tahun depannya, Indonesia akan melangsungkan Pemilu Presiden.
Pemilukada yang akan berlangsung tahun ini tentu akan menjadi momen konsolidasi politikus yang niat banget menjadi penguasa di negeri dengan populasi muslim terbesar se-dunia ini. Maksudnya, menang di daerah bisa jadi jalan untuk memuluskan sekelompok orang untuk menguasai jumlah perolehan suara di tahun 2019 nanti.
Biasanya nih, para politikus akan melakukan apa saja untuk memenuhi hasrat mereka. Demi kekuasaan, demi pamoritas, dan demi rencana jangka panjang mereka masing-masing.
Lalu, apakah mungkin para politikus itu melanggar etika dan memanfaatkan kekurangan perihal hukum kampanye pemilu di negeri ini demi maksud di atas?Bisa saja.
Nah, untuk kesempatan ini saya akan bahas "etika dan kode etika" terlebih dahulu, agar teman-teman akademisi mendapatkan gambaran yang jelas mengenai apa yang baik dan apa yang buruk secara umum yang dianut oleh masyarakat kita. Setelahnya, saya akan bahas kerangka pemikiran lain di kesempatan berikutnya.
Oh iya, bagi yang sudah bukan lagi seorang akademisi diperkenankan membaca kok. Jangan sungkan ya. Segala kritik dan saran serta masukan yang mampir di kolom komentar, saya terima dengan baik.
Gak menunggu lebih lama lagi, yuk, cekidot,
" Sementara untuk melakukan kajian mengenai aturan kampanye politik akan bersentuhan dengan etika periklanan, dan regulasi penyiaran khususnya pertelevisian tentang iklan politik."
2.1 Etika dan Kode Etik
Manusia sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa membedakan mana perilaku yang baik dengan perilaku yang buruk. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk menilai hubungannya dengan manusia yang lain. Maka dari hal tersebut, masing-masing kelompok manusia memiliki standar norma tertentu yang menjadi pedoman hubungannya dengan sesama mereka.
Standar norma yang dianut sekelompok manusia ini yang membentuk etika. ‘Etika’ sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani kuno ‘ethos’ (jamak: ‘ta etha’) yang berarti: adat kebiasaan, cara berpikir, akhlak, sikap, watak, cara bertindak. Sedangkan melalui pengertian yang umum etika dapat digambarkan sebagai: nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipakai oleh seseorang atau suatu kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya. Melalui pengertian umum etika ini kemudian dapat disimpulkan bahwa fungsi etika secara umum ada dua, yaitu: pertama, sebagai subyek etika berfungsi untuk menilai tindakan-tindakan yang baik dan buruk, serta yang benar dan yang salah. Kedua, sebagai obyek etika berfungsi sebagai teknis untuk melakukan sesuatu berdasarkan moral.
Namun di dalam penelitian ini peneliti ingin memfokuskan pengertian etika dari sudut pandang A.A. Oka Mahendra (2003) yang mendefiniskan etika sebagai refleksi kritis tingkah laku manusia, tingkah laku bangsa, dari sudut norma atau dari segi patut atau tidak patut, dari segi baik atau buruk. Melalui pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa etika yang dianut suatu bangsa menentukan tingkah laku dan cara bergaul bangsa tersebut dalam membina hubungannya dengan bangsa lain. Sehingga dapat dikatakan juga di sini bahwa kemunduran etika dalam kehidupan berbangsa dapat menjadi ancaman serius terhadap masa depan bangsa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan kemunduran dari etika dalam kehidupan berbangsa dapat berimbas kepada carut marutnya permasalahan yang akan ditanggung oleh suatu bangsa. Nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, sportivitas, amanah, keteladanan, kedisiplinan, semangat bekerja, tanggung jawab profesi dan moral, toleransi, welas asih, gotong royong, serta lainnya tersebut mulai tergerus dan memudar sebagai jati diri bangsa akibat satu dan lain hal. Dalam kata lain kerangka sebuah bangsa dalam memberikan batasan-batasan etika dalam proses berdemokrasi, semisal kebijakan publik yang mengandung prinsip-prinsip publisitas, transparansi, persamaan, kebebasan, dan akuntabilitas tidak dilandasi oleh moralitas.
Sehingga dapat dipahami bahwa ‘etika’ di jaman modern ini memiliki nilai urgensitasnya, di mana diantaranya adalah:
Manusia hidup dalam masyarakat yang makin pluralis, dan dihadapkan dengan sekian banyak pandangan moral yang seringkali bertentangan satu sama lain.
Manusia hidup dalam masa transformasi masyarakat tanpa tanding; transformasi ekonomi, intelektual dan budaya, yang menantang budaya tradisional. Dalam situasi ini, etika membantu agar kita tidak kehilangan orientasi.
Banyaknya tawaran ideologi sebagai penyelamat bagi kehidupan manusia. Sehingga dengan demikian, etika membantu manusia untuk sanggup menghadapi ideologi-ideologi itu dengan kritis dan objektif dan membentuk penilaiannya sendiri agar tidak mudah terpancing mengikutinya.
Menurut R. Ogien (2003) yang dikutip di dalam buku “Etika Komunikasi” karangan Haryatmoko (2007), minimal etika memiliki tiga pilar, yang diantaranya adalah:
Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”. Konsepsi ini menghargai hak akan kemandirian moral dalam kasus ini berarti kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya/kelompoknya.
Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain. Prinsip ini berasal dari cara berpikir konsekuensialis yang sangat peduli pada efek yang menimpa individu, bisa berupa kerugian fisik atau psikologis.
Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan pada suara atau kepentingan setiap orang. Pada prinsip kedua dan ketiga ini memiliki jaminan akan kesetaraan, maka berfungsi mengatur hubungan dengan pihak lain, dengan menghindari semua bentuk paternialisme.
Sebagai penghantar kepada pembahasan selanjutnya mengenai ‘kode etik’, peneliti akan menyampaikan di sini mengenai definisi etika oleh K. Bartens yang membedakannya menjadi tiga pengertian yang berbeda, sambil mempertajam dan merubah urutannya: Pertama, kata ‘etika’ dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Di sini etika tidak dimaksudkan sebagai ‘ilmu’, dan secara singkat dapat dirumuskan sebagai ‘sistem nilai’. Kedua, kata ‘etika’ berarti juga ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Ketiga, kata ‘etika’ berarti juga kumpulan azas atau nilai moral yang dirumuskan secara tertulis, singkat, dan padat, yang biasa disebut sebagai ‘kode etik’.
Sehingga dengan demikian, ‘etika’ dan ‘kode etik’ memiliki hubungan yang jelas kaitannya satu sama lain. Dimana ‘kode etik’ hadir melalui sekumpulan nilai-nilai moral dan norma-norma yang ada di suatu bangsa yang kemudian dikodifikasi berdasarkan kepentingannya untuk kemaslahatan masyarakat bangsa tersebut.
Yang menarik adalah bahwa ‘kode etik’ menjembatani etika dan moralitas di satu pihak dan hukum di pihak yang lainnya. Di satu pihak, kode etik merupakan kaidah moral yang berlaku khusus untuk orang-orang professional di dalam bidang tertentu. Dan di pihak yang lain kode etik tidak lagi muncul hanya sebagai bentuk imbauan tidak tertulis, melainkan telah dikodifikasikan menjadi aturan tertulis. Karena itu, kendati merupakan kaidah moral, ia dilengkapi dan ditunjang oleh sanksi yang memungkinkan keberlakuan kaidah moral ini jauh lebih pasti sebagaimana halnya dalam hukum positif pada umumnya. Untuk lebih lanjutnya, kode etik memiliki unsur komitmen moral yang menjelaskan bahwa suatu pekerjaan hanya bisa disebut sebagai profesi dalam artian sebenarnya kalau pekerjaan itu melibatkan komitmen moral yang tinggi atas kode etik yang berlaku bagi pelakunya. Sehingga, usaha dan kegiatan-kegiatan praktek yang tidak sejalan dengan kaidah-kaidah norma semacam kejujuran, keteladanan, tanggung jawab, dan lain sebagainya, tidak dapat dikatakan sebagai profesi, seperti contoh: pelacur, mafia, penjudi, perampok, pencopet dan lain sebagainya.
Ada beberapa alasan kode-kode etik profesi perlu ditulis, diantaranya adalah:
Kode-kode etik itu penting, sebagai kontrol sosial. Kode etik memberikan semacam kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi (demikian juga terhadap para anggota baru) dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip professional yang telah digariskan.
Kode-kode etik profesi mencegah pengawasan ataupun campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui beberapa agen atau pelaksananya.
Kode etik adalah penting untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi. Kode etik ini dasarnya adalah sesuatu perilaku yang sudah dianggap benar serta berdasarkan metode prosedur yang benar pula. Kode etik semacam ini sudah banyak dilakukan oleh para anggota sebuah kelompok professional, dan ini akan lebih efektif terlaksana bila kode etik tersebut dirumuskan sedemikian rupa sehingga medatangkan rasa puas pada pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam gambaran besarnya, kode etik hadir bukan dalam rangka memenuhi sifat egoistik pelaku profesi bersangkutan, akan tetapi mengarah juga pada pelayanan terhadap masyarakat umum.
Referensi:
Antonius Atosokhi Gea, dkk. 2005. CharacterBuilding IV: Relasi Dengan Dunia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
K. Bartens. 2003. Keprihatinan Moral: Telaah atas Masalah Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lila Yulvia. 2008. Bab I : Pengertian dan Filosofi Etika Manusia. Diunduh melalui situs: http://www.academia.edu/5130417/BAB_1_Pengertian_and_Filosofi_Etika_Manusia_adalah
A.A. Oka Mahendra. 2003. Merajut Benang Yang Kusut. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus.
A. Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
E. Sumaryono. 1995. Etika Profesi Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
27 komentar untuk "CONTOH BAB 2 SKRIPSI TENTANG IKLAN KAMPANYE POLITIK"
Rwferensinya juga ada..
Kalau yang saya lihat di daerah saya, untuk urusan spanduk kampanye ataupun selebaran, mereka suka banget nempel di sembarang tempat, dan membuat tidak indah.
Agar tidak asal mengeluarkan pendapat.
Semoga membantu untuk yang sedang menyusun skripsi ya mas.
Saya coba memahaminya meski masih blm bisa paham sepenuhnya
Tp setidaknya jd pengetahuan
Bacanya mesti pelan pelan nih biar ngerti hahahaha. Pilkada sebentar lagi, hmm mesti benar benar tahu bagaimana iklan yang baik yaa
tpai kalo udah memasuki ranah politik, aku better untuk nggak ikutan hehehe
Hanya demi sebuah kekuasaan, apa saja ditempuh, tanpa memperhatikan kode etiknya. Dunia yang mengerikan...
Overall bahasan tentang kode dan etika ini menarik. I know you so well bro. Lo emang udah paling pas untuk jadi calon dosen terutama yang ada hubungannya dengan komunikasi dan politik. Makasih buat artikelnya. Kurang ilustrasi berupa gambar atau foto aja sih agar lebih melengkapi