SAATNYA BERALIH KE ZAKAT DAN WAKAF. "TERUS..?"

“Baru selesai bikin status zakat di Twitter, saya dikomentari remeh seseorang: “terus..?””, demikian keluh rekan Blogger kami. Mendengar pengakuan tersebut, Ruang Padjajaran 5, Hotel Royal Padjajaran, Bogor, pun disesaki tawa.



Tidak lucu memang; tetapi, ironi itu membuat kami kehabisan kata. Sebagai seorang muslim harusnya tak merasa asing dengan zakat, salah satu pilar pokok dalam Islam. Kasus itupun kami anggap sebagai sikap keterasingan belaka, yang alih-alih mampu melepaskan zat Dopamin di otak kami.

Secara definisi, zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan pemeluk agama Islam untuk didistribusikan kepada golongan yang berhak menerima, sesuai yang ditentukan oleh syariat. Wajib hukumnya dikeluarkan, dan wajib pula disalurkan sesuai kriteria bagi penerimanya; pilar pokok ekonomi dalam agama ini bukanlah mainan. Para pemeluknya tidak dapat membantah perintah zakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keyakinannya. Karena jika demikian, ia telah keluar dari agama.

Namun, saya berbicara demikian bukan dalam rangka menghakimi sang komentator kicauan rekan kami. Perihal ini sehubungan kepesertaan kami di acara Lokalatih Tunas Muda Agent of Change Ekonomi Syariah yang diinisiasi Kementerian Agama. Kegiatan tersebut dilakukan selama tiga hari lamanya (27-29/3) dengan membedah secara mendalam tentang zakat, wakaf, serta problematikanya.


Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama, melihat Lokalatih ini sebagai bagian dari realita yang musti dibangun seiring berkembangnya filantropi muslim Indonesia. Menarik memang. Jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 210 juta orang, dengan potensi zakat sebesar 217 trilyun rupiah per tahun. Dana sebesar itu seharusnya dapat menyentuh warga miskin Indonesia yang sebanyak 28 juta penduduk, sebagaimana peranannya.


Belum lagi potensi wakaf di Indonesia. Negeri ini terhitung memiliki potensi tanah wakaf yang tersebar di 435.768 lokasi. Luasnya pun tak tanggung-tanggung, 4,4 juta meter persegi.

Wakaf ini sophiaticated (canggih). Ia tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual, maupun diwariskan. Namun, keperuntukannya pure sepenuhnya demi kepentingan umat, karena wakaf adalah sedekah jariyah. Saya membayangkan pengurus wakaf ini punya keahlian di bidang keuangan dan kejujuran tingkat dewa, tentunya.

Terus...?

Hingga tahun 2021, Indonesia akan dipenuhi usia produktif kisaran 15 hingga 64 tahun. Sebagian besar dari mereka adalah pengguna Internet of Things. Mereka adalah pribadi yang reaktif terhadap situasi sekitar akibat cepatnya arus informasi dan transaksi. Lahirnya generasi milenial ini adalah konsekuensi alamiah akibat pergeseran gaya hidup yang terjadi di seluruh dunia.

Seluk beluk dunia online bukan lagi halangan bagi kelompok generasi ini. Sayangnya, kemampuan adaptasi penduduk Indonesia berusia produktif terhadap Era Industri 4.0 tak seirama dengan literasinya terhadap zakat, terutama sekali wakaf. Sangat rendah dalam perbandingan. Padahal, kemiskinan adalah problem sosial yang tidak akan pernah ada habisnya. Dalam kasus kemiskinan di Indonesia, problem sosial tersebut semakin meningkat jumlahnya.

Kajian kementerian agama menjelaskan generasi muda zaman now hanya tau zakat pada saat bulan Ramadhan saja, atau yang lebih dikenal zakat fitrah. 

Wakaf? Boro-boro. Generasi tua saja mengetahui wakaf hanya dalam 2 bentuk: kuburan, atau masjid. Sepertinya, diperlukan kerja yang panjang demi mengubah persepsi dan mental yang ada kini. 

Secara umum, pemahaman muslim Indonesia (termasuk nazir dan amil), masih mengusung ide konservatif mengenai zakat dan wakaf; mereka tidak mampu mengikuti perkembangan yang terjadi.

Zakat penghasilan, wakaf uang, dan lainnya adalah produk fikih kontemporer finansial syariah. perkembangan literatur tentang zakat dan wakaf ini perlu di dekatkan kepada masyarakat dengan narasi-narasi yang empatis dan beradab. Kalau bisa, ditambah lebih catchy.

Kehadiran Era Industri 4.0 juga menciptakan dinamika pergaulan sosial. Semua orang dari belahan dunia manapun dapat saling berinteraksi dalam satu platform media sosial; mereka saling mengomentari dan mempengaruhi. Cepat, sebat. Perkembangan terakhir, ya, seperti pengalaman kami di atas tadi.

Terus..?

Kami bersama-sama mas Tuhu Nugraha, pakar media sosial Indonesia, kemudian membedah prilaku tersebut dengan mengedepankan azas praduga tak bersalah.

Ada yang menarik saat membuka satu per satu bagian prilaku tersebut. Salah satunya, sebuah testimoni bahwa perilaku semacam itu layaknya tren, di mana sebuah konten yang berhubungan dengan ibadah akan senantiasa di respon negatif bernada sinis. 

Ngapain sih, pamer-pamer ibadah? Atau ibadah mah, diem-diem aja. Gak pake riya, ujub, dan sombong. Seakan-akan, konten narcis dan kuliner lebih penting terpublikasi ketimbang semangat filantropi (zakat dan wakaf). Atau bisa jadi, hal ini akibat imbas politik agama yang terjadi di Indonesia.

Sebagai pakar media sosial, mas Tuhu justru memberi solusi. Pergeseran gaya hidup yang terjadi saat ini memang menjadikan kegiatan ibadah dan beragama menjadi sedemikian privat. Hasilnya: semakin dipublikasikan, audiens semakin antipati. 

Menurut penuturannya, konten-konten ibadah dapat menjadi viral apabila diperlakukan dengan benar. Contohnya, memanfaatkan pernyataan dan perbuatan orang ketiga yang kompeten untuk melegitimasi konten-konten ibadah tertentu, sehingga audiens mendapatkan pemahaman secara bijak.

Selebihnya..? Mas Tuhu menambahkan 3 hal: Jangan hoax, jangan suka membanding-bandingkan, jangan ikutan arus isu negatif yang terjadi saat ini. Semua itu bukan saja menjatuhkan kredebilitas anda, tetapi juga atas konten yang anda bawa.

Terus..?

Kalian perlu tau, kalau penduduk Indonesia memiliki tingkat kedermawanan terbesar ke-2 sedunia, saat ini. Hal ini diakui dunia, loh; oleh Charities Aid Foundation. Artinya, penduduk Indonesia memiliki modal dan jiwa sosial yang besar di tengah-tengah arus materialisme global (hedon, narcis, dan lain sebagainya).

Namun, percuma saja jika Indonesia yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia itu tidak bersemangat dalam berzakat dan berwakaf. Tanpa pemahaman yang benar tentang zakat dan wakaf, modal sosial penduduk Indonesia tersebut seakan tidak bersinergi satu sama lain.

Sebagai gambaran nyata, dari potensi zakat 217 trilyun rupiah, yang terkumpul baru 5 trilyun saja. Sedangkan, dari terkumpulnya tanah wakaf yang ada, penggunaannya untuk fasilitas yang tidak produktif secara finansial. Bahkan, wakaf uang saja hingga saat ini baru tercapai 20 milyar rupiah saja.

Coba deh, pelajari kisah ini,

Suatu ketika, Umar bin Khattab mendapatkan sebidang tanah di daerah Khaibar. Tanah tersebut merupakan kebun kurma terbaik se-kota Madinah. Dikarenakan kebun tersebut merupakan pemberian, Umar menghadap Nabi Muhammad untuk meminta petunjuk terbaik untuk penggunaannya.

Nabi Muhammad menyarankan agar membiarkan pengelolaan kebun kurma tersebut, dan menyedekahkan seluruh hasilnya kepada umat. Syaratnya, tanah tersebut tidak dijual, tidak pula diihibahkan ke orang lain, serta tidak diwariskan kepada keturunannya. Lalu, sang Nabi menambahkan, “jika kamu (Umar) suka.”

Tanpa banyak tanya, Umar mengikuti anjuran Nabi tersebut. Hingga kini, setelah 700 tahun berselang pun, hasil pengelolaan tanah itu tetap diberikan untuk kepentingan umat.

“Tidak boleh harta itu berputar pada orang berada saja.”
Muhammad Fuad Nasar, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf

Sekiranya, potensi tersebut dapat dimaksimalkan, zakat dan wakaf dapat bersinergi sebagai kekuatan ekonomi alternatif dalam mengentaskan kemiskinan. Lebih hebatnya lagi, ekonomi alternatif tersebut digerakkan oleh warganya sendiri.

Ambillah contoh, pembangunan rumah sakit milik umat. Tanah yang dibangun berasal dari wakaf tanah, pembiayaan operasionalnya dari wakaf uang, sedangkan pembiayaan pasien fakir miskin dan para mustahik lainnya melalui zakat. Simple, yah.

Selain untuk kegiatan sosial, zakat dan wakaf pun bisa diaplikasikan untuk kegiatan permodalan usaha umat. Mirip metode kerja bank-bank konvensional dengan pembayaran bunga yang mencekik. Namun bedanya, zakat diberikan secara cuma-cuma, wakaf diberikan untuk meminimalisir resiko pengelolaan usaha.

Dr. Ascarya, MBA, selaku peneliti senior Bank Indonesia memberikan gambaran detil ide dalam ekonomi Islam. Beliau menjelaskan bahwa kemudahan akses pembiayaan ekonomi bagi fakir miskin dan anak yatim harus dimulai dengan pemberian inklusi sosial, berupa pendampingan dan peminjaman tanpa bunga, sehingga mereka dapat mengatasi persoalan hidup jangka pendeknya.

Setelah kebutuhan jangka pendek para mustahik telah dinilai terpenuhi, pemenuhan finansial mereka dapat dijadikan lebih mandiri melalui sistem permodalan untuk membangun dan meningkatkan modal usahanya. Dengan demikian, terjadi peningkatan cara berpikir mustahik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam jangka panjang.

23 komentar untuk "SAATNYA BERALIH KE ZAKAT DAN WAKAF. "TERUS..?""

Unknown 29 Maret 2018 pukul 07.40 Hapus Komentar
Jadi tersanjung cerita "terus?" di jadikan opening hahha..
Menarik banget ulasannya. So far thistis the best, menurut akuuu hehhee
ikhsan keren 29 Maret 2018 pukul 16.14 Hapus Komentar
Saya tersanjung ini..sumpah 😎
Terima kasih ka, atas komennya.
Fika 5 April 2018 pukul 18.34 Hapus Komentar
Aku kerja di salah satu LAZ yg udah digital sejak tahun 2008. Dan menurutku persoalan ini masih berputar di pemerintah. Alias pemerintahnya yg blm digitalisasi. Kalau LAZ yg swasta beberapa sudah oke loh. Programnya juga sudah cukup membumi kok.
Rani Yulianty 6 April 2018 pukul 00.08 Hapus Komentar
Bagus ulasannya, membuat saya lebih faham mengenai zakat dan wakaf, walaupun saat masih bekejra setiap bulan mengeluarkan zakat penghasilan
Ruli retno 6 April 2018 pukul 09.29 Hapus Komentar
Ulasannya lengkap dan mateng. Sampai tidak ada yg ingin sy tanyakan karena semua lengkap. Sedihnya itu kadang masyarakat memang masih mengabaikan yang namanya zakat, infaq, waqaf
Retno Kusumawardani 6 April 2018 pukul 10.04 Hapus Komentar
perlu sinergi dari seluruh stake holder, baik pihak penerima zakat maupun pemerintah agar pengelolaan zakat dan wakaf ini optimal
Amanda Desty Yunistyani 6 April 2018 pukul 10.13 Hapus Komentar
ulasannya menarik sekali... dan lengkap. jadi lebih paham mengenai zakat dan wakaf.
Dian farida ismyama 6 April 2018 pukul 12.03 Hapus Komentar
Orang awam kayak aku,pinginnya cari lembaga yang bisa cepat ,update,amanah,kredibel,tapi nggak berbelit-belit.kalau ada yang kayak gitu,generasi milenial pasti mau deh berzakat dan waqaf
Zefy Arlinda 6 April 2018 pukul 13.00 Hapus Komentar
andai semua umat muslim Indoensia mengalokasikan uangnya untuk wakaf dan tidak lupa zakat lalu tersalurkan dengan baik maka sejahteralah Indonesia
Ruziana 6 April 2018 pukul 21.31 Hapus Komentar
zakat saya masih gaya zaman old
berzakat untuk lingkungan keluarga besar
membantu mereka
eh apakah membantu keluarga itu termasuk zakat atau kewajiban ?
Jiah Al Jafara 6 April 2018 pukul 23.50 Hapus Komentar
Ngumpulin zakat, wakaf, sedekah pakai gaya sekarang yg serba digital itu oke2 saja. Tapi memang baiknya menyasar pd org2 tertentu. Kalau di kampung, zakat manual lbh oke karena ya diputerin sama org kampung sendiri yg lbh butuhin. Kan gak lucu kalau org sekitar kekurangan tp malah ngasih ke yg jauh di sana
Peri Hardiansyah 7 April 2018 pukul 00.21 Hapus Komentar
AYo kita dukung metode perkembangan ekonomi islam. Memang masih banyak yang perlu edukasi, tetap semangad dan pantang menyerah.
Diah Kusumastuti 7 April 2018 pukul 00.47 Hapus Komentar
Ulasannya bermanfaat banget, nih. Memang saat ini pengetahuan soal zakat dan wakaf masih terbatas banget yah di masyarakat. So harus disosialisasikan lebih giat lagi. Mengingat manfaat zakat dan wakaf sangat besar.
Nova Violita 7 April 2018 pukul 01.20 Hapus Komentar
Baru tau kalo tingkat kedermawanan Indonesia itu ni 2 di dunia..

Harapan terbesar dari zakat dapat di salur kepada orang yang semestinya..
Nurul Fitri Fatkhani 7 April 2018 pukul 02.13 Hapus Komentar
Perlu diadakan sosialisasi menyeluruh kepada generasi muda bangsa ini ya...pengetahuan tentang zakat yang bukan hanya zakat fitrah. Dan pengetahuan tentang wakaf yang bukan hanya mesjid dan kuburan aja.
Sally 7 April 2018 pukul 06.35 Hapus Komentar
Senang kemarin akhirnya ketemu mas Iksan. Banyak insight yang saya dapatkan di acara kemarin
MahadewiShaleh 7 April 2018 pukul 07.51 Hapus Komentar
Wah ketemu Rudi juga ya, acaranya menarik dan kayanya beda dari yang lain.
Saya baru pertama kali liat sesi foto dibedakan wanita dan pria. Salut banget
Liza-fathia.com 7 April 2018 pukul 08.08 Hapus Komentar
harusnya di negara kita itu kalau udah bayar zakat, tidak perlu lagi bayar pajak :)
Aprillia Ekasari 7 April 2018 pukul 08.10 Hapus Komentar
Saya dulu jg pas kecil taunya wakaf tu ya tanah trus dijadikan masjid lho hehe. Ternyata pas gede tau ternyata wakaf itu bisa macem2.Emang potensi zakat tu besar banget. Andai saja banuak yg rela berzakat, mungkin banyak org lain yg terbantu. TfS..
Marfa Umi 7 April 2018 pukul 08.47 Hapus Komentar
Hehe jadi inget sekarang malah banyak akun dakwah yang provokatif, perlu disosialisasikan juga seperti ini agar wawasan dan nggak salah kaprah.
lendyagasshi 7 April 2018 pukul 09.25 Hapus Komentar
Kalau gak salah, wakaf itu ketentuannya berbeda dari zakat kan yaa..?
Wakaf ini lebih bersifat amalan yang manjang atau jariyyah.

Misal kita mewakafkan uang 1 juta, maka bukan 1 juta tersebut yang digunakan untuk membantu fakir miskin, namun hasil usaha dari uang 1 juta tersebut yang akan dipergunakan.
Sehingga, uang pokoknya tetap masih ada dan produktif ((menghasilkan)) terus menerus.
ikhsan keren 8 April 2018 pukul 16.54 Hapus Komentar
Betul ka. Wakaf berbeda dg Zakat. Wakaf itu musti dikelola hingga menghasilkan keuntungan. Nah, dari keuntungan tsb bisa disalurkan untuk keperluan ummat, terutama fakir miskin.
Sedangkan zakat, ketika terkumpul, harus langsung dirasakan manfaatnya kpd fakir miskin, dll.
Wallahu'alam.
dr.iChal 16 April 2018 pukul 14.12 Hapus Komentar
Keinginan berzakat masih musiman. Masih sekali2 pas ketemu lembaga zakat di mesjid mesjid. Belum bisa kontinyu
[www.blogdokter.id].