MENAKAR KUALITAS TARAWIH: ZAMAN OLD VS ZAMAN NOW

Saat Ramadhan tiba pasti kita tanpa sadar sering membanding-bandingkan puasa tahun ini dengan yang kemarin. Bener gak? Bahkan, lebih jauh lagi malah membandingkannya dengan puasa saat kita masih kecil.

Menurut saya sih, hal tersebut wajar saja. Namanya manusia diberikan akal untuk berpikir dan bernostalgia. Terkadang, dari situ kita menemukan hikmah dan pelajaran.

Jujur ya, jika diukur dengan tingkat keceriaan, puasa masa kecil itu hampir sama saja dengan sekarang. Itu menurut saya pribadi.

Dilihat dari mananya?

Dari sholat tarawih berjamaahnya.

Kok bisa?

Karena, dilakukan berjamaah.

Detail, pls?

Ok, jadi begini ceritanya. Hal ini bermula saat masa kecil saya bertarawih di masjid lingkungan tempat saya tinggal.

Saat masih kecil, tentu kenalan kita tidak sebanyak sekarang. Keterbatasan yang ada pada anak-anak sebelum dewasa yang mengakibatkan hal tersebut terjadi. Hal ini berdampak pada jarak tempuh saya, yang baru bocah itu, untuk menikmati ragam sholat tarawih di masjid yang ada.

Kalau tidak sholat di masjid Nurul Fadhilah yang 23 rakaat pasti ke mushola Al Ikhsan. Kalau bosan di Al Ikhsan, ya pindah ke mushola gang sebelah bernama Al Mursalin, dengan 11 rakaatnya.

Ada kisah menarik ketika sholat tarawih di Al Ikhsan. Jaraknya hanya 50 nomor dari rumah saya. Tapi, untuk sampai ke sana harus melewati rintangan dari anjing-anjing piaraan pemilik rumah.

Komunitas warga kisaran rumah bernomor 1 hingga 20-an memang suka memelihara anjing. Sedangkan musholla yang dituju tepat berada di mulut gang.

Saat itu ada yang menyarankan kami untuk tarawih di langgar milik dinas sosial itu. Entah bagaimana, mereka tertantang menuju ke sana. Jadilah saya yang suka menguntit anak-anak yang lebih besar mengikutinya.

Berangkat perginya memang agak lancar sih, karena pemiliknya berada di samping binatang-binatang piaraannya itu. Jadi, ada yang mengontrol mereka agar tidak bertindak ofensif.

Sayangnya, tidak saat hendak pulang dari tarawih. Anjing-anjing itu berada di luar tanpa bimbingan sang pemilik.

Mulai dari pintu gerbang musholla kami dapat melihat tatapan tak bersahabat binatang-binatang itu. Ketika mendekatinya, mereka pun mulai menyalak tak karuan.

Salah satu dari kami ada yang berinisiatif berucap, “la Ilaha ilallah!” berulang kali. Seperti terpanggil, yang lain ikutan berucap yang sama hingga menjadi gema. Saya juga ikutan berucap sama.

Sahutan anjing menggonggong berbentrok dengan gemuruh suara kami. Semakin mendekat, kedua suara semakin keras. Ketika antara kami dengan binatang-binatang itu sejarak 10 meter, anjing-anjing itu terdiam tiba-tiba, dan memberikan kami jalan melewati mereka.

Benar-benar ajaib. Pengalaman itu sangat membekas di ingatan saya.

Terus, saat memasuki masa remaja, bagaimana?

Nah! Saat-saat masa remaja adalah masa untuk memperluas relasi dan kenalan.

Medio sekolah tingkat atas hingga dua tahun selepas lulus adalah tahun di mana saya berkeliling Jakarta merasakan suasana tarawih di masjid-masjid besar, seperti: Istiqlal, Al Hikmah di Mampang, Al Ihsan di komplek Bank Indonesia, ada juga masjid di atas gedung Bimantara (sekarang MNC), masjid Astra di Sunter, dll.

Biasanya, kami berangkat dari satu masjid ke masjid lain atas rekomendasi salah satu jamaah tarawih di masjid yang kita kunjungi. Seperti sebuah petualangan.

Semasa sekolah saya memang ikut organisasi Rohis (Rohani Islam). Di sana saya belajar bagaimana bersosialisasi dan mengaplikasikan cara hidup ber-Pancasila, di samping menghidupkan kembali syiar-syiar agama.

Dahulu, permasalahan anak-anak sekolah adalah tawuran. Tidak ada namanya bom bunuh diri atau sebangsanya. Yang ada adalah beberapa dari mereka tewas sia-sia akibat fanatisme almamater sekolah.

Kami yang tergabung dalam organisasi Rohis bekerja mewujudkan impian ketua OSIS kami : mengubah reputasi jelek Boedoet menjadi Islami dan solutif menanggulangi tren buruk tersebut.

Salah satu programnya, bersilahturahim ke sekolah-sekolah lingkungan sekitar berusaha membangun kerjasama.

Meskipun progresnya tidak sebaik yang diharapkan, program tersebut terus berjalan dan menjadi kebiasaan kami kelak ketika lulus sekolah.

Saya pribadi jadi keranjingan berkeliling mengejar kegiatan keagamaan bersama teman-teman dari komunitas Gen-M (Generasi Muslim) dengan lingkup remaja kelurahan.

Ketika masuk Ramadhan, kami pasti mengunjungi masjid-masjid untuk menikmati layanan ibadah mereka.

Sering kali saat berangkat, motor rekan kami mogok sehingga kami mesti berhenti di pinggir jalan membantunya hingga bisa berjalan kembali.

Susah? Ya, memang susah. Namun entah kenapa hal tersebut menambah gairah kami mengunjungi masjid-masjid baru rekomendasi kenalan kami untuk dikunjungi.

Sebuah pengalaman yang berharga dan tak tergantikan meski dengan sebongkah berlian.

Kalau sekarang?

Jelas beda. Kalau sekarang, masjid-masjid itu jadi lebih semarak bersama programnya yang beragam.

Kalau dulu kita yang cari-cari info masjid yang layak dikunjungi. Kini ponsel seharga kacang, internet of things menjadi tren hidup.

Alhasil, manajemen masjid makin gencar menginformasikan kegiatan mereka, dan mempublikasikan diri demi menghadirkan para jamaah.

Pergeseran cara pikir saya kira. Ada pola manajemen pemasaran yang dipakai para pengurus masjid.

Terakhir saya saksikan sendiri di tarawih hari pertama tahun ini.

Kemarin, teman saya traktir menonton film di bioskop Blok M Square, Jakarta Selatan. Ia membiayai 3 orang termasuk saya.

Saat hendak menentukan jam nonton, salah satu teman berinisial S menyarankan untuk memperhatikan jadwal tarawih. Lalu demi mempertimbangkan waktu tersebut, kami memilih nonton di pukul 20.45 Wib.

Pikir saya, dengan memilih di masjid yang terdapat di lantai 5 Pasaraya Grande akan lebih mudah dan lega karena keyakinan akan didatangi oleh segelintir jamaah. Perkiraan saya pun salah.

Jamaah tarawih begitu banyak dan beragam. Ada yang berpakaian kemeja kantoran, jubah ala timur tengah hingga sekedar kaos oblong.

Di akhir kegiatan tarawih, eskalator dan lift dipenuhi orang yang berebut untuk turun ke lantai dasar. Hal itu menunjukkan bahwa tren Ramadhan telah bergeser. Terdapat satu fenomena menarik bahwa para jamaah ini rela datang ke gedung pusat perbelanjaan dan rela berdesakan di lantai 5, ketimbang mencari masjid di pinggir jalan yang saya yakin akses masuk serta keluarnya lebih mudah.

Wallahu’alam.

#29HariNgeblog
#CeritaRamadanku

5 komentar untuk "MENAKAR KUALITAS TARAWIH: ZAMAN OLD VS ZAMAN NOW"

Linz 18 Mei 2018 pukul 19.29 Hapus Komentar
Wah seru banget bang pengalaman tarawihnya mulai dari jaman kecil remaja sampai sekarang, nah vesok rencananya tarawih di Mana? :)
ikhsan keren 18 Mei 2018 pukul 19.34 Hapus Komentar
Emm..masjid Astra dulu, mungkin haha
SamAzhar 19 Mei 2018 pukul 01.35 Hapus Komentar
S itu siapa yah? Seperti baru menyadari inisial namanya. Hehe. Ayolah mari kita jelajah mesjid setiap hari. Mulai dari mencari ta'jil hingga sholat Tarawih di tempat tersebut. Insya Alloh barokah yah
ikhsan keren 19 Mei 2018 pukul 02.01 Hapus Komentar
Hyuk, dijadwalkan! Hha
Unknown 19 Mei 2018 pukul 09.17 Hapus Komentar
Keren pengalamannya Mas, dulu waktu masih jaman kuliah saya juga pernah safari tarawih dari masjid ke masjid, kalo sekarang udah susah, paling2 bisa tarawih di masjid kantor