Kesan Saya Tinggal Sehari di Pekanbaru

Jembatan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, Pekanbaru, Riau. (Dokpri) 

Kesan yang didapat seseorang hadir ketika sebuah gambaran utuh suatu obyek sampai kepadanya, baik pengalaman pribadi, atau melalui pengalaman orang lain. Pandangannya terkadang bias, atau bisa jadi objektif, tergantung bagaimana seseorang itu mengolah informasi yang didapatnya.

Terkait kota Pekanbaru, Riau, saya pernah melewatinya ketika mengawal barang bantuan bagi korban tsunami Aceh di tahun 2005. Truk yang saya tumpangi kala itu melewati jalan utama kota. Arsitekturnya kental akan budaya Melayu. Dahan-dahan pohon meringkuk di pinggiran jalan layaknya kanopi. Tanaman hias membelah jalan bersama tiang-tiang lampu. Di tengah jalan itu juga berdiri marka-marka bertuliskan Asmaul Husna.

Sepanjang lintas timur Sumatera yang saya lewati, hanya kota ini yang memberikan kesan kuat bagi saya. Sebuah kota yang rapih, asri, dan religius. Saya juga menyaksikan bagaimana Riau merupakan provinsi yang kaya akan minyak, baik di daratannya maupun di lautannya.

Enam belas tahun berlalu. Saya mendapat kesempatan tinggal di ibukota provinsi Riau tersebut. Seorang kawan mengajak saya menginap di rumahnya untuk membahas kemungkinan ide-ide bisnis yang sekiranya dapat dikembangkan di sana.

Yang menjadi kesamaan visi di antara kami adalah kami sama-sama mengurus usaha di bidang agrobisnis. Saya di pengadaan daun singkong, sedangkan dia di kelapa sawit. Tapi usaha saya mengalami kendala. Saya ditipu oleh petani asal Banten. Di saat bersamaan, rekan usaha saya menunjukkan ketidakpedulian.

Kesempatan ini saya anggap sebagai bagian dari takdir Ilahi. Saya punya keinginan lama untuk merasakan tinggal di Pekanbaru ini. Dan, inilah saat yang tepat.

Saya kemudian memesan tiket bus di terminal Kampung Rambutan, Jakarta. Karena misi ini bermodalkan nekat, harga tiket yang tidak wajar pun saya sikat. Jadilah sore itu saya berangkat.

Keberangkatan ini saya percepat berhubung isu pelarangan mudik antisipasi covid. Di seberang sana, teman saya sudah mewanti-wanti melalui Whatsapp, bahwa kemungkinan besar ia masih di kebun sekiranya saya sampai di Pekanbaru.

Saya tidak peduli.

Kalau dihitung-hitung, perjalanan saya dari Jakarta ke Pekanbaru kali ini memakan waktu 3 (tiga) hari. Sebelumnya sekitar 4 atau 5 hari. Ini dikarenakan kami sempat memasuki salah satu ruas tol Trans-Sumatera. Kalau saja non-stop lebih dari satu ruas, pasti bus kami sudah sampai lebih awal.

Jalan utama kota yang berulang tahun tiap tanggal 27 Juni itu tidak mengizinkan bus melewatinya. Kecuali bus Trans-Pekanbaru. Yup, saya menemukan sistem transportasi busway setelah bus kami memasuki terminal AKP. Maka setelah berhenti sejenak di terminal, bus kami berlabuh di agen resmi miliknya.

Kedatangan kami sekitar pukul 6 pagi. Saya dijemput adik dari kawan saya tersebut. Karena kelelahan, sesampainya di rumah, saya memilih ranjang kasur sebelum makan dan mandi. 

Tiga hari duduk manis di bus ternyata membuat saya kehilangan ritme hidup. Tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali duduk-makan-tidur-baca buku. Sholat saya jamak ketika bus mampir di rumah makan dengan harga sepiringnya yang fantastis.

Mejelang sore hari, adik kawan saya mengajak keliling kota. "Pekanbaru ni gak luas, bang. Mutar satu jam aja, udah bosan. Gak ada pantai juga," terangnya.

Yang bikin herannya saya langsung percaya begitu saja perkataan orang ini. Kesan yang saya simpan selama 16 tahun langsung menguap bagaikan asap. Di zaman now, ada realita yang harus dipahami. Setidaknya bagaimana kota ini bertarung dengan perubahan zaman 

Next : "Apa kabar Pekanbaru?"



Posting Komentar untuk "Kesan Saya Tinggal Sehari di Pekanbaru "