Pohon Hayat dan Seni Tanpa Intervensi Politik

Dentaman paku bumi bergema ke seluruh kawasan Cikini Raya 73. Suaranya menjelaskan bahwa proses revitalisasi masih terus dikebut, agar masyarakat segera menikmati apa yang disebut sebagai Taman Ismail Marzuki (TIM) urban tourism.

Secara persentase, progres pembangunan per tanggal 5 Desember 2021 rata-rata mencapai lebih dari 65 persen. Meski kawasan ini tengah bersolek, beberapa gedungnya dapat dikunjungi, seperti Teater Besar, Gedung Perpustakaan, Galeri dan Wisma Seni, Gedung Parkir, dan Masjid Amir Hamzah.

Motif Pohon Hayat. Dokpri


Pada kunjunganku terakhir kali ke TIM, ada yang menarik perhatianku. Sebuah perpaduan garis berwarna oranye  yang melintang satu sama lain menghiasi sudut tertinggi fasad sebuah bangunan. Motif itu terpasang berdampingan dengan sebuah tulisan “IKJ”, Institut Kesenian Jakarta.

Motif yang terpasang itu adalah sebuah reka visual benda bernama Pohon Hayat. Garis paling bawah melambangkan atap rumah. Pada bagian pertengahannya melukiskan gelombang air. Sedangkan di bagian teratasnya terdapat sepasang burung yang menghadap ke lidah api.

Reka Wujud Pohon Hayat

Pohon hayat adalah wujud dari kehidupan itu sendiri. Lahir dari kepercayaan manusia bahwa semesta alam dalam naungan serupa pohon. Kehadiran pohon hayat meliputi dunia manusia di bagian bawah semesta, dan berakhir naik pada keabadian.

Pohon hayat dalam visualisasi gunungan. Sumber : docplayer.info


Kepercayaan terhadap pohon hayat ini muncul dan berkaitan langsung dengan paham animisme dan dinamisme. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha, pohon ini digambarkan dalam beberapa bentuk. Di antaranya dikenal sebagai kalpataru, kalpawrksa, dan pohon Bodhi. Setelah Islam masuk ke pulau Jawa, kepercayaan ini digambarkan dalam bentuk hiasan Gunungan, yang digunakan sebagai media cerita pewayangan. 

Meski dari segi kerohanian Islam telah membawa kepercayaan ini dalam bentuk yang berbeda, pohon hayat tetap memiliki tiga prinsip yang sama. Di mana posisi gunungan paling bawah menggambarkan dua hal yang saling berhadapan-hadapan. Timbul dan tenggelam. Unsur-unsur kejiwaan manusia yang memiliki sifat antagonis, dan memiliki konflik kepentingan.

Ketika pertentangan antara hasrat manusia mencapai keselarasan, terciptalah apa yang disebut harmoni. Jika hal ini sudah tercapai, konflik telah lepas dari peredaran lalu membentuk pengalaman rohani baru, yang digambarkan dalam rupa “air kehidupan”.

Pada puncak gunungan terdapat tunas bunga yang melambangkan kehidupan baru. Di tingkatan ini, manusia memasuki suatu hidup baru yang abadi, mutlak, dan sama sekali abstrak.

Kisah Perjalanan Taman Ismail Marzuki

Sebelum dibangunnya Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki, Jakarta memiliki dua tempat berkumpulnya para seniman. 

Pada era 1930-an, Prinsen Park, Lokasari, Sawah Besar menjadi tenar dengan karya-karya seninya. Masa jaya Prinsen Park pun bertahap habis, dan digantikan dengan kejayaan seniman Senen di kisaran tahun 1950.

10 tahun berselang, pertokoan modern merajai kawasan Senen. Para seniman kehilangan tempat berdiskusi dan menciptakan karya, sehingga Jakarta kering dari diskusi-diskusi kesenian.

Pada tahu 1968, pertemuan antara Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, dengan para seniman melahirkan Dewan Kesenian Djakarta. Pembangunan pusat kesenian secara maraton terkonsep. Kemudian, Taman Ismail Marzuki (TIM) resmi dibuka pada 10 November 1968.

Diskusi-diskusi kesenian yang telah menjadi tradisi semenjak 1930-an hadir kembali. Gubernur Ali Sadikin juga mendorong bersihnya kesenian Jakarta dari intervensi politik praktis. 

Hidup Berkesenian di Jakarta

Seni adalah karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman batin. Dari pengalaman tersebut lahir kreativitas yang tersaji secara indah dan menarik, sehingga merangsang pengalaman batin bagi orang lain.

Hidup berkesenian selaras dengan filosofi pohon hayat. Dipenuhi pertentangan dan konflik. Lalu pada waktunya, keselarasan hadir melalui dukungan politik yang tulus dari seorang pemimpin. Hingga pada akhirnya, pusat kesenian lahir sebagai wujud yang mutlak dari sebuah harmonisasi.

Revitalisasi TIM kemudian hadir untuk menjawab tantangan-tantangan baru di dalam dunia kesenian. Seperti layaknya sebuah pohon hayat yang abadi, ranting yang patah, maupun dedaunan yang gugur, akan kembali tumbuh dalam wujud yang segar.

Semoga proyek ini berjalan dengan lancer, dan diskusi-diskusi berkesenian di Jakarta melahirkan karya seni mendunia.

Posting Komentar untuk "Pohon Hayat dan Seni Tanpa Intervensi Politik"