LIMA NILAI LUHUR YANG KIAN DIRINDUKAN ANAK BANGSA
Saya bersyukur
pernah merasakan pendidikan Pancasila secara intens semenjak SD
hingga pendidikan tingkat atas. Saat itu, pikiran ini dipenuhi
kebanggaan telah menjadi bagian dari bangsa yang ramah, sopan dan
santun.
Namun, seiring
berkembangnya teknologi, dan makin maraknya dinamika politik di dalam
negeri, anak bangsa Indonesia makin beringas. Mereka bergelimang
dalam hoaks dan adu domba. Persatuan dan kesatuan Indonesia makin
terancam; anak bangsa terbelah makin tajam dalam kelompok yang
berbeda.
Pancasila yang
dahulu sakral kini hanya jadi alasan untuk saling menjatuhkan sesama
warga. Negeri ini gersang akan idealisme yang mempersatukan.
Sumber : Montasefilm.com |
Untuk itulah,
film LIMA hadir dilayar lebar sebagai upaya merefleksikan kembali
nilai-nilai luhur bangsa yang makin ditinggalkan ini. Tanggal tayang
perdananya sendiri mengambil momen peringatan Hari Lahir Pancasila
setiap tanggal 1 Juni. Kegiatan nonton bareng di XXI Djakarta Theather, Sarinah, Jakarta Pusat, ini diprakarsai oleh e-commerce Shopback.
Sinopsis LIMA
Maryam telah wafat. Ibu dari tiga anak itu meninggalkan dunia ini
menuju keabadian dalam suasana yang khusyuk.
Fara yang mengikuti agama sang ibu, dan kedua putra Maryam yang beragama
sesuai keyakinan almarhum sang suami, Kristen, terus berdebat mengenai
apa yang wajib dan yang tidak pantas untuk prosesi penguburan sang
bunda. Fara, Aryo, dan Adi terus-menerus berargumentasi di kala tubuh
Maryam yang terbujur kaku semakin dingin.
Pada adegan berikutnya, keluarga besar almarhumah Maryam harus
menghadapi ujian hidup yang lain. Ketiga putra dan putrinya harus
belajar memaknai hidup tanpa sang ibu terkasih. Hidup memang tidak
semudah dan sesempurna dari yang dibayangkan. Tanpa sebuah pegangan,
kehidupan rumah tangga mereka bisa porak-poranda.
Adi yang masih duduk dibangku sekolah tingkat atas harus berhadapan
dengan aksi perundungan sesama teman sekelasnya. Bahkan ia harus
berurusan dengan kepolisian dan belajar banyak memaknai arti
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Fara yang berprofesi sebagai pelatih renang nasional ditekan
sedemikian rupa oleh pemilik klub. Ia lebih dewasa dari yang lain.
Namun, di balik kuatnya kepribadian Fara, terdapat tanggung jawab
yang besar dalam mengelola masalah diskriminasi anak-anak asuhnya.
Perempuan itu berpikir lebih keras untuk menjaga kekompakan
calon-calon atlet renangnya menuju Asian Games tahun ini.
Di sisi yang lain, Aryo baru saja kehilangan pekerjaan yang
dibangunnya dari semenjak awal. Tak memiliki aktivitas menjadikan
dirinya terlibat hutang dengan berbagai pihak. Ia memerlukan dana
segera demi melunasi tunggakan yang kian mendekati tenggat
pembayaran. Namun, karena kondisi itulah ia kehilangan kepercayaan
dari seisi rumah. Aryo berusaha sekuat tenaga kembali menyatukan
serpihan-serpihan yang pecah dari bingkai rumahnya.
Permasalahan makin runyam ketika Bi Ijah berniat ingin pulang ke
kampung meninggalkan kediaman almarhumah Maryam. Ketiga anak pemilik
rumah merasa keberatan dengan keputusannya. Namun, kondisi sosial Bi
Ijah memaksanya untuk kembali kepada anak-anaknya di kampung yang
ternyata segera mendapatkan masalah.
Resume
LIMA berkonsep Omnibus di mana penggarapannya dilakukan oleh lima
sutradara yang berbeda. Masing-masing sutradara memegang brief
yang berbeda mengenai sila-sila dalam Pancasila.
Sila pertama dipegang oleh
Shalahuddin Siregar. Sila kedua dibesut oleh Tika Pramesti. Sila
ketiga disutradarai oleh sang produser film Lola Amalia. Sila keempat
oleh Harvan Agustriansyah, dan sila kelima dikomandoi Adriyanto Dewo.
Sebagaimana Pancasila itu kata-kata
luhur, demikian pula film ini memiliki kekuatan pada kata-kata.
Persuasinya begitu fokus menggugah pikiran para penonton, sehingga
LIMA menjadi film yang tidak mengumbar kisah picisan.
Di setiap adegannya kita dengan
mudah mencerna kisah-kisahnya. Hal ini dikarenakan LIMA mengangkat
problematika yang terjadi pada bangsa ini. Alur
ceritanya begitu pas, dialognya begitu mengena, minim latar musik,
kuat pada dinamika ekspresi dan dialog antar pemain. Tidaklah salah
jika film ini bagaikan oase ditengah gersangnya kehidupan berbangsa,
sekaligus oase bagi standar cerita perfilman Indonesia yang tidak
kunjung berkembang.
“Kami
mau membuat film ini karena menyadari bahwa Indonesia penuh dengan
toleransi. Jadi, kami memvisualkannya berdasarkan kisah-kisah dan
peristiwa nyata yang terjadi beberapa tahun belakangan ini di
Indonesia,” terang sutradara sekaligus produser film LIMA, Lola
Amalia.
Penutup
Suatu ketika,
datang teman saya sesama remaja mushola gang-an. Ia menceritakan
bahwa ada salah satu warga meminta bantuan kami mengurusi jenazah
pamannya.
Sang paman telah
ditinggal cerai istrinya sehingga ia tak lagi memiliki sesiapa yang
bisa mengurusinya. Ditambah lagi, pria tersebut seorang mualaf yang
tinggal bersama saudaranya yang beragama Kristen.
Oleh karenanya,
sang keponakan meminta bantuan Remaja Mushola Al-Ikhsan untuk
mengurusi jenazah pamannya sesuai syariat Islam.
Saat itu, warga
yang beragam Kristen ikut membantu perihal administrasi dan
teknis-teknis yang tidak berhubungan dengan syariat. Bahkan mereka
ikut mengantar jenazah dan mengatur lalu lintas agar pamannya sampai
hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Benar-benar suatu
kekompakan antar dua agama berbeda. Kami tidak perlu mengusik syariat
agama yang berlaku. Tetapi kami harmonis untuk teknis-teknis di luar
itu.
Sang paman telah
masuk ke dalam liangnya. Gundukan tanah pun siap dituangkan ke dalam
kuburnya.
Prosesi
penguburan telah selesai. Kami yang beragama Islam memulai doa untuk
yang telah berpulang ke Rahmatullah. Lalu dilanjutkan dengan doa dari
pihak keluarganya yang beragama Kristen.
Segalanya
berlangsung secara alami dan saling pengertian. Tidak ada paksaan;
tak ada yang merasa tersakiti.
Kejadian itu
sangat membekas di hati saya. Sebuah momen yang terjadi lama sebelum
adanya film LIMA. Sangat disayangkan jika kita sebagai anak bangsa
melupakan arti sebagai manusia; lupa bahwa kita memiliki Pancasila.
1 komentar untuk "LIMA NILAI LUHUR YANG KIAN DIRINDUKAN ANAK BANGSA"