Navigation Menu

Wisata ke Siak, "My Favourite So Far"

Matahari Terbit di Siak Sri Indrapura. Dokpri


Wisata ke Siak membutuhkan waktu sekitar 3 (tiga jam) perjalanan dari kota Pekanbaru, Riau. Keluar menuju Jalan Lintas Timur Sumatera, lalu berkendara beberapa menit ke arah selatan. Belok kiri begitu ketemu persimpangan Minas, setelah itu terus bergerak hingga masuk Maredan, dan Perawang.

Sebelum menyeberang melalui Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah, kita akan disambut jejeran pohon trembesi. Dahan-dahannya berfungsi sebagai kanopi, menaungi pengendara dari sinaran matahari. Pohon ini juga dikenal baik didalam menyerap karbon dioksida sehingga menghasilkan kualitas udara yang sehat.

Albiza Saman, atau nama lain dari Trembesi mengingatkan bangsa ini akan Presiden Soekarno. Jenis pohon tersebut ditanam sendiri oleh beliau di Istana Negara. Hingga kini, pohon tersebut masih terawat dengan baik di sana.

Sebetulnya, Siak dengan sang proklamator kemerdekaan itu memiliki ikatan sejarah yang kuat. Begitu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1945, Kesultanan Siak menyatakan diri sebagai bagian dari negara Republik Indonesia, dan menyerahkan kekayaan mereka sebesar 10juta Gulden (sekitar 81milyar rupiah) melalui Soekarno.

Selain menikmati kanopi jalanan aspal, wisata ke Siak bisa juga lewat jalur sungai. Menaiki speed boat dari Pelabuhan Sungai Duku, Pekanbaru, para wisatawan dapat menikmati perjalanan bak kisah-kisah kolosal selama 2 (dua) jam. Karena sejatinya, Sungai Siak merupakan urat nadi perekonomian dan transportasi Kesultanan Siak Sri Indrapura pada zaman dulu.

Aliran Sungai Siak yang menghipnotis. dokpri

Daya tarik wisata ke Siak tak terlepas dari sejarahnya yang panjang. Oleh karena itu, ciri khas daripadanya tetap dipertahankan, seperti halnya bangunan-bangunan bersejarah Siak Sri Indrapura.

Mengambil kutipan dari jurnal elektronik Universitas EsaUnggul, bahwa suatu wilayah memiliki catatan historis yang membentuk citra, bahkan jati diri yang khas (Khairul Mahadi & Tuwanku M. Ridha, 2012 : 61). Siak adalah contoh dimana aset wisatanya dapat dikembangkan lebih jauh dengan pendekatan cagar budaya.

Pengalaman Wisata ke Siak Sri Indrapura

Keinginan kami wisata ke Siak digerakkan oleh rasa penasaran akan kemegahan Istana Siak Sri Indrapura. Pertama kali mendengar namanya di telinga, saya kira tak jauhlah ia dari arsitektur adat Riau pada umumnya.

Ternyata saya salah.

Istana Siak saat siang hari. Dokpri

Bangunan itu tampak megah dengan perpaduan pesona budaya Melayu, Arab, dan Eropa. Dibangun oleh kolega dari Jerman sebagaimana permintaan Sultan ke-11, Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin, pada tahun 1889. Saat itu memang perekonomian Kesultanan Siak tengah jaya-jayanya.

Rasa penasaran terbayar ketika sesampainya kami di lokasi, saat tengah malam hari. Istana yang memiliki nama lain “Matahari Timur” itu bercahaya aram-temaram. Disorot lampu dari berbagai penjuru, ia-nya seakan cahaya mentari yang melewati bulan, lalu memantul ke bumi.

Perlu beberapa saat lamanya kami mengagumi keindahan istana di kala gelap malam. Jalan nan sepi dan sunyi menambah rasa penasaran. Kami pun berkeliling sejenak di kawasan Kampung Dalam.

Istana Siak di saat malam. Dokpri

Bergerak ke arah timur, sepanjang jalan berdiri bangunan oriental bercat merah. Warnanya menyambut kehadiran kami dan menandakan bahwa lingkungan tersebut hidup berkelompok warga keturunan Tionghoa.

Kendaraan yang kami tumpangi lalu memutar ke bagian belakang komplek istana. Sepanjang jalan itu beberapa model rumah adat siak masih terjaga. Kondisi jalanan bersih dari sampah domestik. Tidak pula terdengar hingar-bingar kehidupan malam. Kawasan Kampung Dalam, Kabupaten Siak, tampak bermartabat.

Jalan Kaki di Pagi Hari

Bakda subuh, misi wisata ke Siak saya lanjutkan dengan berjalan kaki. Rutenya dari Jalan Datuk Tanah Datar hingga ke Jalan Kartini. Ruas jalannya lebar, mampu dilewati dua buah kendaraan beroda empat.

Meski hari itu telah memasuki hari senin, tak nampak kesibukan seperti halnya kota-kota besar. Yang terlihat hanya empat orang pekerja kebersihan tengah mengangkut tong-tong sampah ke dalam truk.

Maharatu Center jelang terbit matahari. Dokpri

Sepanjang perjalanan benar-benar bersih dari sampah. Lalu ketika langit sedikit agak terang, dua pesepeda muncul dari ujung jalan. Mereka menggowes kendaraannya serasa penguasa jalanan. Tetapi bagi saya, hal itu menunjukkan jalanan ini bebas dari hambatan dan polusi kendaraan bermotor.

Setelah mendekati area komplek istana, saya berjalan ke arah selatan. Melewati pemadam kebakaran, perpustakaan, lapangan rumput, serta berakhir di alun-alun Maharatu Center dan Tepian Bandar Sungai Jantan.

Sungai Siak tampak tenang dan menenangkan. Alirannya memberi pesan kesabaran akan esok yang lebih baik. Maka tepat kiranya pemerintah daerah menjadikan sepanjang tepian sungai sebagai  ruang publik, tidak ada sama sekali bangunan memunggungi sungai.

Ratusan tahun sungai ini menjadi saksi hidup sebuah peradaban dan perseteruan politik antar negara. Di seberang sana terdapat bangunan sejarah lainnya : Tangsi Belanda, dan terawat dengan baik sebagai bagian rekam sejarah kesultanan Siak Sri Indrapura.

Tangsi Belanda tetap terjaga hingga kini. Dokpri

Rangkaian wisata ke siak ini saya akhiri dengan berinteraksi bersama penduduk sekitar. Mulai dari penjual makanan, bocah-bocah lokal, pengurus musholla yang umumnya memiliki ukuran seluas masjid jami’, dan warga keturunan Tionghoa.

Matahari Terbit (akan) Makin Bersinar

Siak Sri Indrapura adalah konsep wisata yang memadukan eco-environtment, budaya, dan rekam jejak peradaban yang dimiliki Indonesia. Sungainya pun dilintasi kapal-kapal pengangkut yang menandakan hidupnya perekonomian melalui jalur perairan mereka hingga kini.

Klenteng Hock Siu Kiong, salah satu bukti perpaduan budaya yang terjadi di Siak Sri Indrapura. Dokpri

Melalui pendekatan analisis faktor internal yang dikemukakan jurnal jurusan Teknik Planologi, Universitas Esa Unggul, Siak Sri Indrapura lebih banyak memiliki kekuatan pariwisata dibandingkan kelemahannya khas (Khairul Mahadi & Tuwanku M. Ridha, 2012 : 61).

“Ada hal yang tak boleh dilupakan, kekhasan atau jati diri sebuah kota ditentukan bagaimana kita memberikan posisi yang tepat terhadap bangunan-bangunan lama dalam kaitan dengan perkembangannya.”

Peninggalan sejarah ini perlu diketahui oleh banyak pihak, sebagaimana dahulunya Siak Sri Indrapura menguasai hingga ke negeri Malaka. Seperti saya yang berakhir berburu wisata ke siak karena haus akan sejarah bangsa.

#IniKotaku #EsaUnggul

0 komentar:

Kesan Saya Tinggal Sehari di Pekanbaru

Jembatan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, Pekanbaru, Riau. (Dokpri) 

Kesan yang didapat seseorang hadir ketika sebuah gambaran utuh suatu obyek sampai kepadanya, baik pengalaman pribadi, atau melalui pengalaman orang lain. Pandangannya terkadang bias, atau bisa jadi objektif, tergantung bagaimana seseorang itu mengolah informasi yang didapatnya.

Terkait kota Pekanbaru, Riau, saya pernah melewatinya ketika mengawal barang bantuan bagi korban tsunami Aceh di tahun 2005. Truk yang saya tumpangi kala itu melewati jalan utama kota. Arsitekturnya kental akan budaya Melayu. Dahan-dahan pohon meringkuk di pinggiran jalan layaknya kanopi. Tanaman hias membelah jalan bersama tiang-tiang lampu. Di tengah jalan itu juga berdiri marka-marka bertuliskan Asmaul Husna.

Sepanjang lintas timur Sumatera yang saya lewati, hanya kota ini yang memberikan kesan kuat bagi saya. Sebuah kota yang rapih, asri, dan religius. Saya juga menyaksikan bagaimana Riau merupakan provinsi yang kaya akan minyak, baik di daratannya maupun di lautannya.

Enam belas tahun berlalu. Saya mendapat kesempatan tinggal di ibukota provinsi Riau tersebut. Seorang kawan mengajak saya menginap di rumahnya untuk membahas kemungkinan ide-ide bisnis yang sekiranya dapat dikembangkan di sana.

Yang menjadi kesamaan visi di antara kami adalah kami sama-sama mengurus usaha di bidang agrobisnis. Saya di pengadaan daun singkong, sedangkan dia di kelapa sawit. Tapi usaha saya mengalami kendala. Saya ditipu oleh petani asal Banten. Di saat bersamaan, rekan usaha saya menunjukkan ketidakpedulian.

Kesempatan ini saya anggap sebagai bagian dari takdir Ilahi. Saya punya keinginan lama untuk merasakan tinggal di Pekanbaru ini. Dan, inilah saat yang tepat.

Saya kemudian memesan tiket bus di terminal Kampung Rambutan, Jakarta. Karena misi ini bermodalkan nekat, harga tiket yang tidak wajar pun saya sikat. Jadilah sore itu saya berangkat.

Keberangkatan ini saya percepat berhubung isu pelarangan mudik antisipasi covid. Di seberang sana, teman saya sudah mewanti-wanti melalui Whatsapp, bahwa kemungkinan besar ia masih di kebun sekiranya saya sampai di Pekanbaru.

Saya tidak peduli.

Kalau dihitung-hitung, perjalanan saya dari Jakarta ke Pekanbaru kali ini memakan waktu 3 (tiga) hari. Sebelumnya sekitar 4 atau 5 hari. Ini dikarenakan kami sempat memasuki salah satu ruas tol Trans-Sumatera. Kalau saja non-stop lebih dari satu ruas, pasti bus kami sudah sampai lebih awal.

Jalan utama kota yang berulang tahun tiap tanggal 27 Juni itu tidak mengizinkan bus melewatinya. Kecuali bus Trans-Pekanbaru. Yup, saya menemukan sistem transportasi busway setelah bus kami memasuki terminal AKP. Maka setelah berhenti sejenak di terminal, bus kami berlabuh di agen resmi miliknya.

Kedatangan kami sekitar pukul 6 pagi. Saya dijemput adik dari kawan saya tersebut. Karena kelelahan, sesampainya di rumah, saya memilih ranjang kasur sebelum makan dan mandi. 

Tiga hari duduk manis di bus ternyata membuat saya kehilangan ritme hidup. Tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali duduk-makan-tidur-baca buku. Sholat saya jamak ketika bus mampir di rumah makan dengan harga sepiringnya yang fantastis.

Mejelang sore hari, adik kawan saya mengajak keliling kota. "Pekanbaru ni gak luas, bang. Mutar satu jam aja, udah bosan. Gak ada pantai juga," terangnya.

Yang bikin herannya saya langsung percaya begitu saja perkataan orang ini. Kesan yang saya simpan selama 16 tahun langsung menguap bagaikan asap. Di zaman now, ada realita yang harus dipahami. Setidaknya bagaimana kota ini bertarung dengan perubahan zaman 

Next : "Apa kabar Pekanbaru?"



0 komentar: