Belum pernah sebelumnya saya ke Bali.
Hingga di tahun 2014, saya diajak oleh teman untuk ikut bergabung ke dalam suatu choir yang dinaungi oleh salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia. Paduan suara tersebut tengah melakukan persiapan menuju ajang kompetisi bertaraf internasional di Bali.
Singkat cerita, 2 bulan telah berlalu, dan persiapan dianggap telah cukup. Pada akhir bulan Agustus yang agak mendung itu, kami pun dilepas oleh petinggi perusahaan dan berangkat-terbang menuju Pulau Dewata.
![]() |
Di Bandara Internasional |
Pesawat kami landing di bandara internasional I Gusti Ngurah Rai pada sore hari, sekitar jam tujuh. Perjalanan kami berlanjut ke sebuah hotel di daerah sekitar Kuta dengan menggunakan bus sewaan. Sepanjang jalan yang dilewati bus kami, mata saya melihat kebanyakan dari gerbang bangunan serta rumah penduduk disarungi dengan kain dengan motif kotak-kotak. Baru kemudian saya ketahui bahwa gerbang pagar tersebut disebut dengan angkul-angkul, yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk.
Keesokan harinya, kami berkunjung ke Institut Seni Indonesia Denpasar Bali. Dari Kuta menuju Kota Denpasar memiliki jarak waktu tempuh sekitar 27 menit. Namun menjadi berjam-jam karena kami musti mampir terlebih dahulu ke kantor cabang perusahaan yang menaungi kelompok paduan suara kami. Bersilahturahim dengan para pegawai, berkenalan satu-persatu, bersenda gurau, dan terakhir diberikan wejangan oleh petinggi cabang di sana.
![]() |
Menerima Medali dan Penghargaan |
Kantor perwakilan tempat kami mampir didominasi oleh warna kuning. Ketika sampai di ISI Denpasar, gedung berubah warna dengan dominasi oranye dan coklat -- perubahan suasana yang tidak terlalu ekstrim. Namun cuaca saat itu begitu terik, tidak seperti Jakarta yang kami tinggalkan dalam kondisi lembab dan mendung.
Budaya di pulau Bali memang tidak hilang meskipun itu di jalanan utama kota Denpasar. Unik dan mistis, namun terlihat damai; adalah hal yang tidak mungkin bagi saya tuk menemukan gedung pencakar langit. Hal itu karena surat keputusan pemerintah daerah yang membatasi pembangunan gedung setinggi rata-rata pohon kelapa. Mungkin karena itulah saya merasakan Bali tampak damai; perpaduan antara modernitas dan budaya aslinya begitu harmonis dan tidak berlebihan.
Kelompok kami juga menyempatkan diri berkunjung ke Taman Garuda Wisnu Kencana yang begitu megah meski belum sepenuhnya rampung. Jika seandainya rampung, patung Wisnu Kencana akan terlihat terbang menaiki burung garuda, dan berdiri setinggi 120 meter. Selain itu, beberapa objek wisata lain kami singgahi, seperti Tanah Lot yang memiliki warna-warna indah di penghujung sore, Danu Beratan di Bedugul yang dingin, dan pantai Kelan yang kece.
![]() |
Di Tanah Lot |
![]() |
Danu Beratan, Bedugul, Bali |
![]() |
Potongan Badan Patung Wisnu Kencana |
Ada cerita menarik saat kami berada di pantai Kelan. Beberapa dari kami yang muslim hendak mencari musholla untuk beribadah namun semua penduduk yang beraktivitas di sana tidak tahu jika seandainya ada musholla di pantai tersebut. Sebagian dari kami pun nekat hendak sholat di salah satu pos di sudut jalan. Beruntung ada penduduk yang menyaksikan kami dan merasa kasihan. Mereka menghampiri kami dan menyuruh kami beribadah dengan khusyuk di dalam rumahnya.
Keseruan di Pantai Kelan |
Itulah segelintir pengalaman saya ketika berada di Bali. Saya memuji keindahan dan keramahan Pulau Dewata nan menawan. Tidaklah wajar jika seseorang mencinta terhadap sesuatu tetapi enggan untuk kembali datang. Karena "segelintir" tidaklah pernah cukup. Saya ingin kembali ke Pulau Dewata.
25 komentar:
Posting Komentar